Poros Maritim (9)
Zaman Kolonial
Penguasaan bangsa-bangsa Eropa, yang dimulai dari Portugis hingga Belanda, atas perairan nusantara disebabkan tidak adanya kerajaan maritim besar dan memiliki pengaruh kuat pada masa itu. Setelah kejatuhan kerajaan maritim Sriwijaya (abad ke-7), dan kemudian Majapahit (abad ke-15), praktis tidak ada lagi kerajaan maritim besar yang memiliki kekuatan angkatan laut yang besar dan tangguh.
Tujuan utama kedatangan bangsa Barat adalah berburu komoditi khususnya rempah-rempah meskipun pada akhirnya menjajah Indonesia. Kedatangan bangsa Eropa ke nusantara dipicu kejatuhan Konstantinopel (ibukota Romawi) ke tangan
kesultanan Turki Utsmani. Penguasaan Konstantinopel oleh Turki membuat pasokan rempah-rempah dari wilayah timur ke Eropa terputus. Kondisi ini membuat bangsa Eropa mencari sendiri sumber rempah-rempah di belahan timur.
Negara-negara yang mempelopori penjelajahan samudera adalah Portugis dan Spanyol yang diikuti oleh Inggris, Belanda, dan negara lainnya. Pada tahun 1510, Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Alburquerque sampai ke Malaka. Mereka dengan mudah menghancurkan kapal-kapal Jawa dan menguasai bandar paling strategis di wilayah nusantara tersebut.
Setelah menaklukan dan menguasai Malaka, Portugis menjadikan Malaka sebagai pangkalan militer untuk menahan serangan orang-orang Melayu. Dari Malaka mereka kemudian mengirimkan ekspedisi ke Maluku mencari rempah-rempah. Orang-orang Portugis telah mengobarkan ‘Perang Salib di lautan’, sehingga kawasan perairan nusantara menjadi arena pertarungan dari berbagai kekuatan maritim baik lokal maupun internasional.
Kedatangan Portugis memicu kedatangan bangsa-bangsa Eropa lainnya seperti Spanyol dan Belanda. Tujuan mereka serupa mencari sumber rempah-rempah. Cornellis de Houtman seorang kapten kapal Belanda sampai di Banten pada 1596. Banten saat itu merupakan pelabuhan lada terbesar di ujung Barat pulau Jawa.
Sejak itu Belanda banyak mengirimkan armada ekspedisi dari berbagai perusahaan berbeda untuk mencapai sumber rempah-rempah. Jacob van Neck pada Maret 1599 tiba di Maluku, kapal-kapalnya kembali ke Belanda (1599-1600) dengan membawa banyak rempah-rempah dan meraup keuntungan 400 persen.
Kedatangan bangsa-bangsa Eropa mencari rempah-rempah ke nusantara tak pelak menimbulkan persaingan di antara mereka. Mereka masing-masing mencoba mendekati penguasa-penguasa setempat. Seperti Portugis yang mendekati Kesultanan Ternate, dan Spanyol yang mendekati Kesultanan Tidore.
Konflik-konflik lokal antarkerajaan itu pada akhirnya banyak menguntungkan bangsa Eropa. Keberhasilan mereka membantu dalam menghadapi musuh-musuhnya membuat bangsa-bangsa Eropa itu mendapat previllage sehingga akhirnya memonopoli perdagangan rempah-rempah di wilayah itu.
Sementara itu, dengan kekuatan militernya, Belanda (VOC) berhasil memaksakan monopoli perdagangannya. Pemerintah Belanda kemudian menggantikan peran VOC dan menjajah nusantara dengan pemerintahan Hindia-Belandanya. Sebagai contoh yang menarik mengenai kasus kemerosotan kerajaan maritim di Nusantara adalah pelabuhan Tuban.
Pada zaman awal kejayaan kerajaan Majapahit tahun 1350-an Tuban merupakan kota dan pelabuhan terbesar di Nusantara. Di pelabuhan itulah berkumpul para pedagang kaya, pemilik modal layaknya kaum borjuis di Eropa abad ke-19, yang dengan kekayaan dan para pengawalnya yang besar mempunyai pengaruh dalam bidang politik dalam kerajaan.
Perkembangan semacam itu tentu saja didukung oleh kondisi yang memungkinkan bagi para pelaut dan pedagang melakukan aktivitasnya sesuai dengan tradisi kaum pedagang. Akan tetapi, ketika kaum penguasa dan bangsawan mulai ikut aktif dalam dunia bisnis dengan mengedepankan hak-hak istimewanya, maka hal itu merupakan tanda awal kemerosotan.
Selanjutnya ketika para pedagang kaya beserta harta bendanya menemukan tempat atau pelabuhan lain yang mereka anggap menguntungkan untuk berbisnis, yaitu di Malaka, maka merosotlah peranan pelabuhan Tuban sebagai pelabuhan dagang terbesar dan paling menguntungkan bagi Majapahit.
Dengan demikian, Malaka yang dengan pesat mengalami perkembangan akhirnya menggantikan kedudukan Tuban sebagai pelabuhan terbesar di Nusantara. Bahkan Ales Bebler menyebut Malaka sebagai anak pelabuhan Tuban. Para pelaut dan pedagang yang berpindah ke Malaka berasal dari berbagai suku bangsa seperti Jawa, Tuban, Gresik dan para pedagang timur asing lainnya. Tidak mengherankan bahwa ketika Malaka telah berkembang sebagai pusat perdagangan khususnya rempah-rempah yang bertaraf internasional, sebagian besar dari para pedagang dan pelaut adalah orang-orang Jawa.
Ketika Malaka berhasil direbut dan diduduki oleh Portugis pada tahun 1511, dengan alasan sentimen keagamaan, para pedagang dari India dan Timur Tengah, Jawa dan sebagainya tidak ingin melakukan hubungan dagang dengan orang-orang Portugis yang Kristen. Mereka mencari kota-kota pelabuhan yang berpenduduk Muslim, sebagian dari mereka berpindah ke Aceh, Makasar, Banten, Sunda Kelapa dan kota-kota pelabuhan lainnya di sepanjang pantai utara pulau Jawa.
Merebaknya kekuasaan VOC di Nusantara ditandai dengan keberhasilan J. P. Coen menyerang dan merebut Sunda Kelapa pada tanggal 30 Mei 1619. Bahkan kota pelabuhan yang makmur itu dibakar habis oleh pasukan VOC. Sebagai Gubernur Jendral VOC di kemudian hari, menjadikan Sunda Kelapa sebagai pos atau benteng yang aman di nusantara, sebagai pusat administrasi, perdagangan dan politik pemerintahan VOC, dengan nama baru Batavia.
Dari pusat pemerintahannya di Batavia VOC terus-menerus merencanakan dan mengatur rencana-rencana dan siasatnya untuk menerapkan sistem perdagangan monopoli di seluruh wilayah nusantara, khususnya di daerah-daerah atau kota-kota pelabuhan. Taktik licik yang ditempuh adalah dengan menjalankan politik adu domba (devide at impera) dan intervensi politik dalam urusan intern di berbagai kerajaan pribumi, dengan harapan bisa memperoleh sekutu dengan salah satu di antara yang bersengketa, membantunya dan akhirnya memperoleh imbalan jasa yaitu monopoli perdagangan, dan izin untuk mendirikan loji-loji atau benteng-benteng VOC.
Menurut sejarawan Ricklefs, dalam setiap peranan kompeni Belanda dalam membantu dan menjaga kedudukan pewaris tahta kerajaan-kerajaan pribumi, berakibat semakin mendorong timbulnya konflik-konflik intern dalam istana, kekacauan atau bahkan pemberontakan. Untuk yang disebut terakhir inilah kompeni Belanda biasa mengambil sikap memihak kepada yang diharapkan akan memberi konsesi politik dan ekonomi lebih besar. Salah satunya adalah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 antara Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta mengakibatkan kedua raja tersebut harus menyerahkan perdagangan hasil wilayahnya kepada Belanda.
Pemerintahan Hindia Belanda yang menggantikan VOC berusaha keras untuk menguasai seluruh daerah-daerah di Nusantara. Selama abad XIX dan bahkan sampai awal abad XX Belanda terus melakukan penaklukan dan penghancuran terhadap berbagai perlawanan rakyat di berbagai daerah di Nusantara, khususnya di luar Jawa. Alhasil, Belanda sukses mewujudkan cita-citanya yaitu apa yang disebut Pax Neerlandica, atau sebuah imperium Belanda Raya.
Dengan begitu, aktivitas kemaritiman penduduk nusantara berada di bawah pengawasan dan kekuasaan kolonialisme Belanda. Baik pelayaran domestik maupun pelayaran internasional di kawasan Nusantara dikendalikan oleh perusahaan Belanda sendiri, khususnya N.V. Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) yang secara tidak langsung mendapatkan monopoli atas pelayaran di Hindia Belanda. KPM juga dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda dalam membangun infrastruktur jalur pelayaran yang memungkinkannya mengontrol seluruh wilayah Hindia Belanda secara politis, dalam rangka mencapai integrasi negara kolonial di bawah bendera Pax Neerlandica.
Meskipun berada di bawah dominasi Belanda tidak berarti bahwa aktivitas kemaritiman seluruh suku bangsa di wilayah Nusantara menjadi terhenti. Hanya saja aktivitas mereka, khususnya suku-suku di berbagai pulau di luar Jawa, terbatas pada pelayaran dan perdagangan antar pulau. Juga terdapat sejumlah pelaut dan pedagang pribumi yang lebih memilih
atau mengubah profesi mereka menjadi perompak di laut, dan sebagian lagi menghindar atau menyingkir ke pedalaman untuk menjadi petani.
Kemerosotan pelayaran penduduk pribumi mencapai puncaknya selama masa pendudukan Jepang. Pada masa itu jaringan pelayaran antar pulau diambilalih dan dikuasai oleh militer Jepang dalam rangka perang Asia Timur Raya, sementara kapal-kapal KPM, untuk sebagian disita Jepang dan sebagian lagi keluar dari perairan Indonesia. Bahkan kapal-kapal milik orang-orang Cina dari Singapura yang selama periode kolonial menjadi pesaing KPM juga tidak banyak lagi bermunculan di perairan Indonesia. Demikian juga pelayaran perahu pribumi mengalami stagnasi, karena para pelautnya takut terhadap Jepang.
Sesudah Jepang menyerah dan Indonesia memasuki
masa revolusi, Belanda berusaha membangun kekuasaannya di Hindia Belanda baik dalam bidang keamanan, politik maupun ekonomi. Pada periode ini Belanda berusaha keras untuk mengembalikan dominasi pelayarannya di Indonesia, khususnya dengan membangkitkan kembali eksistensi KPM.
Dengan demikian, selama masa kolonial, terjadi penurunan semangat dan jiwa bahari bangsa Indonesia. Tambahahan pula pada masa kolonial berlaku sistem tanam paksa pada zaman Gubernur Jenderal van Den Boch (1830-1834). Sistem tanam paksa ini kian membenamkan bangsa ini kepada kehidupan agraris. Sejak saat itu, terjadi
pergeseran dari budaya bahari ke budaya agraris.
Comments
Post a Comment