Konsepsi Bank Tanah



Konsep bank tanah pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan konsep bank konvensional. Kesamaan yang paling nyata ialah terkait fungsi intermediasi bank konvensional dan bank tanah. Bank konvensional menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito tabungan dan simpanan dari masyarakat kemudian mengembalikan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dana melalui penjualan jasa keuangan.

Sementara itu, bank tanah menghimpun tanah dari masyarakat terutama yang ditelantarkan dan tanah negara yang belum digunakan. Selanjutnya, tanah yang dihimpun tersebut dikembangkan dan didistribusikan kembali sesuai rencana penggunaan tanah atau disewakan kepada masyarakat. Sederhananya, bank tanah merupakan sarana manajemen tanah dalam rangka pemanfaatan dan penggunaan tanah menjadi lebih produktif.

Istilah dan Pengertian Bank Tanah

Sebenarnya, ada dua istilah yang berkaitan erat dengan bank tanah, yakni land banking dan land bank. Land banking is the process or policy by which local governments acquire surplus properties and convert them to productive use or hold them for long-term strategic public purposes. Land banks are public authorities or special purpose not-for-profit corporations that specialize in land banking activities (lihat, Frank S. Alexander, 2008).

Jadi, land bank mengacu pada sebuah lembaga, sebuah badan hukum publik dalam manajemen tanah. Sementara land banking merupakan wujud kegiatan dari lembaga bank tanah. Istilah land banking bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “perbankan tanah”. Sementara untuk istilah land bank sendiri menjadi lembaga bank tanah. Bagi penulis istilah perbankan tanah kurang begitu cocok untuk dipakai sehingga lebih memilih istilah bank tanah.

Terlepas dari pemahaman mengenai kedua istilah tersebut, pada prinsipnya, bank tanah seringkali dihubungkan dengan sarana manajemen tanah yang mapan. Bank tanah merupakan instrumen manajemen tanah yang telah digunakan di berbagai negara untuk menangani berbagai isu seperti pemindahan tanah dan pemanfaatan tanah yang lebih produktif.

Land banking is a systematic acquisition of often large pieces of land, normally land that is pre‐development but could be considered having potential for development. Land banking  has been defined as public or publicly authorized acquisition of land to be held for future use to implement public land policies (Van Dijk, T. dan D. Kopeva, 2006). Bank tanah adalah akuisisi tanah secara sistematis terhadap tanah yang belum dikembangkan, tanah terlantar, atau yang ditinggalkan kosong dan dianggap memiliki potensi untuk pengembangan. Akuisisi tanah publik yang dilakukan bank tanah diadakan untuk penggunaan masa depan dan dalam rangka menerapkan kebijakan tanah publik).

Dengan demikian, bank tanah mengacu pada proses akuisisi tanah masyarakat yang belum dikembangkan atau tidak produktif untuk tujuan pengembangan di masa mendatang. Melalui bank tanah, pemerintah dapat memberi pengaruh pada kebijakan yang berimplikasi spasial, baik dalam persoalan infrastruktur, lingkungan atau pun pertanian. Bank tanah merupakan strategi intervensi dalam persoalan pasar tanah dan kepemilikan tanah pribadi. Pemerintah tidak harus memanipulasi atau mengontrol tetapi dapat lebih langsung mengubah hubungan kepemilikan tanah dalam area tertentu.


Bank tanah memungkinkan pemerintah pusat atau daerah memperoleh dan menghimpun tanah untuk tujuan strategis jangka pendek dan jangka panjang. Pemerintah pusat dan daerah pun dapat benar-benar memindahkan properti dari pasar untuk merespon ketidakmampuan pasar real estate berfungsi secara efisien. Dengan demikian, bank tanah dapat mengurangi biaya eksternal dari properti yang terlantar dan ditinggalkan sekaligus menciptakan kestabilan lingkungan dan masyarakat.

Bank tanah tidak menggantikan fungsi pasar tanah terbuka, melainkan mengambil langkah-langkah penting ketika pasar tanah berada dalam kondisi tidak efektif atau gagal. Juga, tidak menggantikan perencanaan tata guna tanah, melainkan memperoleh persediaan tanah yang ditelantarkan dan membuatnya tersedia untuk perencanaan. 

Keterlibatan yang efektif dalam bidang bank tanah akan membangun peran yang tepat dari pemerintah pusat dan daerah. Peran pemerintah adalah menyediakan dana sebagai modal awal program bank tanah lokal dan regional untuk memperoleh dan mengelola persediaan tanah, mendorong inisiatif dan pelaksanaan kegiatan entitas bank tanah, dan menciptakan insentif untuk kolaborasi regional.

Best Practice Bank Tanah

Konsep bank tanah bukanlah konsep baru. Konsep bank tanah telah diterapkan berpuluh-puluh tahun silam di daratan Eropa dan Amerika. Kala itu, perencana kota menyarankan setiap kota mengambil tanah kosong di pinggiran kota untuk perencanaan penggunaan jangka panjang dan mengendalikan kondisi kota yang tidak tertata. Bank tanah diusulkan sebagai metode alternatif perencanaan penggunaan tanah pemerintah melalui kontrol buatan dan stabilisasi pasar tanah lokal. Praktik bank tanah yang dijalankan di Eropa pun terutama berkaitan dengan pembaharuan kota.

Di Belanda, bank tanah dimulai pada tahun 1896, persisnya di kota Amsterdam untuk mengimbangi pertumbuhan kota yang pesat. Sejak saat itu, bank tanah dianggap sebagai sarana untuk mempromosikan kepentingan publik dalam perumahan yang layak dan lingkungan hidup yang layak. Pada tahun 1971 sekitar 83% tanah yang ditawarkan untuk pengembangan diperoleh dari perusahaan pengembangan tanah kota. Dari tanah ini sekitar 31% disewakan untuk kepentingan swasta. Bank tanah sepenuhnya bertanggung jawab sebagai perusahaan pengembangan tanah yang ada di sebagian besar kota, termasuk 115 dari 118 kota dengan populasi minimal 20.000 orang. Dari total stok tanah kota 50% siap untuk pembangunan dan 59% adalah dalam persiapan.

Program bank tanah juga dijalankan di Swedia, persis di kota Stockholm pada tahun 1904. Kota Stockholm pun menjadi salah satu kota Swedia pertama yang mulai membeli tanah untuk bank tanah dan terus menjadi salah satu kota yang paling aktif dalam menanggapi dan mengelola pertumbuhan perkotaan. Pada tahun 1979 sekitar 70 persen tanah di Swedia telah menjadi milik publik. Selama bertahun-tahun Swedia telah memberlakukan regulasi penggunaan tanah dan memulai program investasi tanah yang konsisten. Di Stockholm sebuah perusahaan properti didirikan oleh pemerintah daerah untuk mengelola pembelian tanah yang memiliki potensi untuk dikembangkan di pasar.

Di Perancis, penerapan bank tanah dimulai pada tahun 1958. Bank tanah diterapkan di tingkat nasional sebagai wujud komitmen pemerintah untuk pembangunan perumahan. Namun, program bank tanah tidak mengalami kemajuan dalam hal pengendalian pembebasan tanah atau realisasi tujuan perencanaan tata guna tanah yang luas karena kurangnya komitmen politik dan keuangan.

Umumnya, bank tanah menggunakan tanah milik masyarakat sebagai dana tanah. Dalam pelaksanaannya di beberapa negara, bank tanah memperoleh tanah melalui mekanisme pembelian wajib dan non-wajib. Metode wajib digunakan apabila kegiatan bank tanah memiliki dampak besar terhadap perkembangan kota. Selain itu, bank tanah dapat dijalankan oleh banyak pihak,  mulai dari aktor yang sangat banyak mulai dari rumah tangga hingga pemerintah nasional. Bank tanah digunakan oleh sektor publik dan swasta sebagai metode pengendalian pembangunan. Bagi sektor publik, bank tanah merupakan metode mengendalikan spekulasi pasar dan pengembangan tanah.

Dalam praktiknya di sejumlah negara, pengembangan struktural bank tanah memiliki dua fase dasar, yakni fase penyediaan dan fase operasional prosedur untuk proses pengambilan keputusan pada akuisisi, pengelolaan, dan pembagian tanah. Penentuan jenis badan yang sesuai untuk mengelola sebuah bank tanah tergantung pada tujuan yang ingin dicapai (bank tanah umum, bank tanah untuk pembangunan perumahan, pembangunan kembali), skala (regional, kota, proyek tertentu), dan kemampuan entitas untuk melakukan kegiatan sehubungan dengan pertimbangan hukum, keuangan, dan perencanaan.

Dalam implementasinya, bank tanah menghadapi sejumlah tantangan terutama berkaitan dengan pembiayaan operasional. Umumnya, tantangan tersebut terkait: ketersediaan dana selama fase awal pembentukan, bagaimana menyeimbangkan tujuan dan sumber daya keuangan, dan kebutuhan sumber daya pendanaan skala besar. Dengan demikian, efektifitas operasi bank tanah bergantung pada sumber dana yang stabil dan berkelanjutan.

Salah satu pilihan untuk membiayai bank tanah adalah dana pemerintah dalam bentuk hibah atau pinjaman. Pengalaman di Prancis dapat diambil sebagai contoh. Di Prancis, pajak lokal dipungut untuk membiayai pembelian tanah. Itu artinya, jika konsep bank tanah terhubung ke pembangunan ekonomi dan upaya revitalisasi pajak akan dipandang lebih menguntungkan dan kontrol lokal dari pasar tanah akan kurang ditentang oleh sektor swasta.

Di Belanda, proses yang sama dilakukan. Pemerintah daerah membeli tanah untuk mengantisipasi pertumbuhan wilayah perkotaan pada masa mendatang. Pemerintah menyiapkan tanah untuk pembangunan sesuai dengan rencana penggunaan tanah dan kemudian menjual atau menyewakan pengembangan tanah kepada pengembang. Dalam hal ini, bagaimana nilai pasar tanah dihitung menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan bank tanah. 

Di Belanda, nilai penggunaan tanah tidak dispekulasi untuk penggunaan dan nilai masa depan. Pemerintah kota memperoleh pinjaman dari bank untuk membiayai pembelian mereka atau untuk subsidi perumahan dari pemerintah nasional.
Penerapan konsep bank tanah pun memperoleh keuntungan dalam menjalankan fungsinya. Potensi sumber pendapatan yang dapat diperoleh bank tanah yang dapat dihitung, meliputi: biaya transfer pada transaksi real estate, alokasi pajak keuntungan modal sehubungan dengan transaksi tanah, dan alokasi kenaikan tambahan dalam pajak properti yang dihasilkan dari peningkatan nilai tanah.

Dalam konteks Indonesia, wacana pembentukan lembaga bank tanah ini telah digulirkan pada tahun 1980-an yang berlanjut pada tahun 1990-an. Gagasan pembentukan lembaga bank tanah ini berasal dari pemerintah saat itu. Hal itu terkait pertambahan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di sisi lain, ketersediaan tanah sebagai wadah pelaksanaan pembangunan terbatas.

Referensi         
     
Bernhard Limbong, Bank Tanah, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2013
Diana A. Silva, Land Banking As A Tool For The Economic Redevelopment Of Older Industrial Cities, Drexel Law Review, Vol. 3, Mei 2011.
Doli Siregar, Manajemen Aset, Strategi Penataan Konsep Pembangunan Berkelanjutan Secara Nasional dalam Konteks Kepala Daerah CEO’s Pada Era Globalisasi dan Otda, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004
Enders, M. J., The Problem of Land Banking: A French Solution, Environment and Planning C: Government and Policy 4 (1):1-17, 1986
Flechner, L. H. Land Banking in the Control of Urban Development. Praeger Publishers, New York, 1974
Frank S. Alexander, Land Banking As Metropolitan Policy, Brookings Institution Metropolitan Policy Program, 2008
Frank S. Alexander, Land Banking Authorities. A Guide for the Creation and Operation of  Land Banks. Local Initiatives Support Corporation, 2005. http://www.lisc.org/resources
Karen Heisler, Alternative Land Tenure And The Social Economy, Literature Review, Canadian Centre for Community Renewal (CCCR) on behalf of the B.C.‐Alberta Social Economy Research Alliance, 2009
Lance Thurston, Commissioner at Department of Community Services, Information Report To Council, Land banking, City of Kingston, Canada, Report No.: 04-259, Agustus 2004
Maria Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2009
Strong, A. L., Land Banking European Reality, American Prospect, John Hopkins University Press, Baltimore, 1979
Thomas J. Fitzpatrick IV, How Modern Land Banking Can Be Used to Solve REO Acquisition Problems dalam Lisa Nelson (ed.), REO and Vacant Properties: Strategies for Neighborhood Stabilization, Federal Reserve Banks of Boston and Cleveland and the Federal Reserve Board, 2010
Van Dijk, T. dan D. Kopeva, Land Banking And Central Europe: Future Relevance, Current Initiatives, Western European Past Experience, Land Use Policy, 23, 3, 286-301, 2006





Comments

Popular posts from this blog

Penyusunan Hukum Agraria Nasional

Mengenal Metode Penetapan Honor Advokat