Konsepsi Ekonomi Kerakyatan


Salah satu fungsi dan tujuan didirikannya sebuah negara adalah menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya. Oleh karena itu, keberfungsian sebuah negara tergambar pada seberapa sejahtera dan makmur rakyatnya.  

Di Indonesia, terdapat tiga pelaku ekonomi nasional, yaitu koperasi, badan usaha milik negara (BUMN, dan badan usaha milik swasta (BUMS). Namun, tulisan kali ini lebih memfokuskan diri pada bahasan mengenai kedudukan ekonomi kerakyatan yang “diwakili” oleh bidang-bidang riil, seperti pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, kehutanan, pengrajin, dan lain-lain.

Banyak orang berpendapat bahwa Ekonomi Kerakyatan merupakan konsep baru yang mulai populer bersama reformasi 1998-1999. Karena itu, konsep ini masuk dalam “GBHN Reformasi”. Hal tersebut dapat dipahami karena memang frasa ‘ekonomi kerakyatan’ ini sangat jarang dijadikan wacana sebelumnya. 

Frasa ‘ekonomi kerakyatan’ terdiri dari dua kata, yakni ‘ekonomi’ dan ‘kerakyatan’. Ekomoni adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan pemakaian barang-barang serta kekayaan, seperti hal keuangan, perindustrian, dan perdagangan. Sementara itu, arti kerakyatan mengacu pada segala sesuatu yang mengenai rakyat. Jadi, ekonomi kerakyatan adalah ekonomi yang mengacu pada peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Ekonomi kerakyatan merupakan konsep baru yang ‘mereaksi’ konsep ekonomi kapitalis liberal yang dijadikan pegangan era ekonomisme Orde Baru. Kemudian, muncul ‘reaksi kembali’, khususnya dari pakar-pakar ekonomi arus utama yang menganggap ‘tak ada yang salah dengan sistem ekonomi Orde Baru’. 

Strategi dan kebijakan ekonomi Orde Baru mampu mengangkat perekonomian Indonesia dari peringkat negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah melalui pertumbuhan ekonomi tinggi, yaitu 7% per tahun selama tiga dasawarsa. Jadi, yang salah adalah praktik pelaksanaannya, bukan teorinya. 

Cara lain untuk menerangkan sejarah konsep Ekonomi Kerakyatan adalah dengan langsung menunjukkan adanya kata ‘kerakyatan’ dalam Pancasila (sila ke-4) yang harus ditonjolkan dan diwujudkan dalam strategi dan kebijakan ekonomi karena di antara lima (5) sila Pancasila, sila ke-4 inilah yang paling banyak dilanggar dalam praktik ekonomi selama era Orde Baru.

Gagasan ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif dari para ahli ekonomi Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dalam menerapkan teori pertumbuhan. Penerapan teori pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di negara-negara kawasan Eropa ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang berbeda. 

Salah satu harapan adalah agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat paling bawah. Namun demikian, dalam kenyataannya, banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan, di kebanyakan negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar. 

Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang berintikan pada manusia pelakunya.

Dalam konsep ekonomi kerakyatan, pembangunan berorientasi kerakyatan dan berbagai kebijaksanaan berpihak pada kepentingan rakyat. Itu berarti konsep ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya untuk lebih mengedepankan masyarakat. Dengan kata lain, konsep ekonomi kerakyatan dilakukan sebagai sebuah strategi untuk membangun kesejahteraan dengan lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan bunyi kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945, dapat dirumuskan perihal substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal. Ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional. Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya nasional, tetapi juga penting sebagai dasar untuk memastikan 

keikutsertaan seluruh anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian.”

Kedua, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir miskin dan anak-anak terlantar. 

Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia.

Ketiga, kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. 

Setiap anggota masyarakat harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walaupun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat. 

Unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga ini mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut memiliki modal atau faktor-faktor produksi nasional. Modal dalam hal ini tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material capital), tetapi mencakup pula modal intelektual (intelectual capital) dan modal institusional (institusional capital).

Sebagai konsekuensi logis dari unsur ekonomi kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus-menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Negara wajib menjalankan misi demokratisasi modal melalui berbagai upaya sebagai berikut.

Pertama, demokratisasi modal material. Negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar maka negara wajib memelihara mereka.

Kedua, demokratisasi modal intelektual. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Pendidikan tidak boleh dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya.

Ketiga, demokratisasi modal institusional. Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa negara wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Secara khusus, hal itu diatur dalam Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”

Kemerdekaan anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik, tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. 

Sebab itu, tidak ada sedikit pun alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk membentuk serikat-serikat ekonomi, seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan, serikat usaha kecil dan menengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai bentuk serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi.

Comments

Popular posts from this blog

Penyusunan Hukum Agraria Nasional