Poros Maritim (8)
Perahu sebagai Bukti Sejarah
Pada sekitar awal abad pertama Masehi diduga telah ada jaringan perdagangan antara Nusantara dan India. Bukti-bukti tersebut berupa barang-barang tembikar dari India (Arikamedu, Karaikadu dan Anuradha-pura) yang ditemukan di Jawa Barat (Patenggang) dan Bali (Sembiran).
Keberadaan barang-barang tembikar tersebut diangkut menggunakan perahu atau kapal yang mampu mengarungi samudra. Bukti tertulis paling tua mengenai pemakaian perahu sebagai sarana transportasi laut tercatat dalam Prasasti Kedukan Bukit (16 Juni 682 Masehi). Pada prasasti tersebut diberitakan; Dapunta Hiyaŋ bertolak dari Minana sambil membawa pasukan sebanyak dua laksa dengan perbekalan sebanyak 200 peti naik perahu.
Pada masa yang sama, dalam relief Candi Borobudur (abad ke 7-8 Masehi) dipahatkan beberapa macam bentuk kapal dan perahu. Dari relief ini dapat direkonstruksi dugaan bentuk-bentuk perahu atau kapal yang sisanya banyak ditemukan di beberapa tempat Nusantara, misalnya di Sumatera.
Bukti-bukti arkeologis transportasi laut banyak ditemukan di berbagai wilayah Nusantara, berupa papan-papan kayu yang merupakan bagian dari sebuah perahu dan daun kemudi, yang ukurannya cukup besar. Salah satu perahu yang dikenal hingga sekarang adalah kapal pinisi. Kapal kayu Pinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad yang lalu, diperkirakan kapal pinisi sudah ada sebelum tahun 1500-an.
Konon Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai. Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan memperisteri Puteri We Cudai.
Setelah beberapa lama tinggal di negeri Tiongkok, Sawerigading kembali kekampung halamannya dengan menggunakan Pinisinya ke Luwu. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar dan Pinisi terbelah tiga yang terdampar di desa Ara, Tanah Lemo dan Bira.
Masyarakat ketiga desa tersebut kemudian merakit pecahan kapal tersebut menjadi perahu yang kemudian dinamakan Pinisi. Orang Ara adalah pembuat badan kapal, di Tana Lemo kapal tersebut dirakit dan orang Bira yang merancang kapal tersebut menjadi Pinisi dan ketujuh layar tersebut lahir dari pemikiran orang-orang Bira.
Kapal pinisi umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.
Selain pinisi, pada zaman kerajaan dikenal kapal Jawa. Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka
pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa.
Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu. Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik.
Konstruksi perahu bercadik sangat unik. Lambung perahu dibentuk sebagai menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini dilengkapi dengan dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat.
Kapal Jawa jelas berbeda dengan kapal Tiongkok yang lambungnya dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi. Selain itu kapal Tiongkok memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan. Kapal Borobudur telah memainkan peran besar dalam segenap urusan orang Jawa di bidang pelayaran, selama beratus ratus tahun sebelum abad ke-13.
Memasuki awal abad ke-8, peran kapal Borobudur digeser oleh kapal-kapal Jawa yang berukuran lebih besar, dengan tiga atau empat layar sebagai Jung.30 Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda dengan pengerjaan kapal Borobudur; seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan paku.
Gambaran tentang jung Jawa secara spesifik dilaporkan Alfonso de Albuquerque, komandan armada Portugis yang menduduki Malaka pada 1511. Orang Portugis mengenali Jawa sebagai asal usul jung-jung terbesar. Kapal jenis ini digunakan angkatan laut kerajaan Jawa (Demak) untuk menyerang armada Portugis.
Disebutkan, jung Jawa memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu menahan tembakan meriam kapal kapal Portugis. Bobot jung rata-rata sekitar 600 ton, melebihi kapal perang Portugis.
Jung terbesar dari Kerajaan Demak bobotnya mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Jawa untuk menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Bisa dikatakan, kapal jung jawa ini disandingkan dengan kapal induk di era modern sekarang ini.
Pelaut Portugis, Tom Pires dalam Summa Orientel (1515) menulis bahwa anunciada (kapal Portugis yang terbesar yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama sekali tidak menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa. Hanya saja jung Jawa raksasa ini, menurut Tome Pires, lamban bergerak saat bertempur dengan kapal-kapal portugis yang lebih ramping dan lincah.
Dengan begitu, armada Portugis bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka. Perahu bercadik memainkan peranan yang besar dalam hubungan perdagangan antar pulau di Indonesia dengan daratan Asia Tenggara. Karena adanya hubungan dengan
daratan Asia Tenggara, maka terjadilah tukar menukar informasi teknologi dalam segala bidang, misalnya dalam pembangunan candi, pembangunan kota, dan tentu saja pembangunan perahu.
Akibat ada hubungan dengan daratan Asia Tenggara, dalam pembangunan perahu pun ada suatu kemajuan. Di seluruh perairan Nusantara, banyak ditemukan runtuhan perahu yang tenggelam atau kandas. Dari runtuhan itu para pakar perahu dapat mengidentifikasikan teknologi pembangunan perahu. Para pakar telah merumuskan teknologi tradisi pembangunan perahu berdasarkan wilayah budayanya, yaitu Wilayah Budaya Asia Tenggara dan Wilayah Budaya China.
Perahu yang dibuat dengan teknologi tradisi Asia Tenggara mempunyai ciri khas, antara lain, badan (lambung) perahu berbentuk seperti huruf V, sehingga bagian lunasnya berlinggi. Sementara untuk haluan dan buritan lazimnya berbentuk simetris. Tidak ada sekat-sekat kedap air di bagian lambungnya.
Dalam proses pembangunannya sama sekali tidak menggunakan paku besi, serta kemudi berganda di bagian kiri dan kanan buritan. Teknik yang paling mengagumkan untuk masa kini, adalah cara mereka menyambung papan. Selain tidak menggunakan paku besi, cara menyambung satu papan dengan papan lainnya adalah dengan mengikatnya memakai tali ijuk.
Sebilah papan, pada bagian tertentu dibuat menonjol. Di bagian yang menonjol ini diberi lubang yang jumlahnya empat buah menembus ke bagian sisi tebal. Melalui lubang-lubang ini tali ijuk kemudian dimasukkan dan diikatkan dengan bilah papan lain. Di bagian sisi yang tebal, diperkuat dengan pasak-pasak kayu atau bambu. Teknik penyambungan papan seperti ini dikenal dengan istilah sewn-plank dan lashed-lug technique.
Sisa perahu yang ditemukan di Samirejo dan Kolam Pinisi, juga sisa perahu yang ditemukan di tempat lain di Nusantara dan negara jiran, ada kesamaan umum yang dapat dicermati, yaitu teknologi pembuatannya Teknologi pembuatan perahu yang ditemukan, antara lain teknik ikat; teknik pasak kayu atau bambu; teknik gabungan ikat dan pasak kayu atau bambu; serta perpaduan teknik pasak kayu dan paku besi.
Melihat teknologi rancang-bangun perahu tersebut, dapat diketahui pertanggalannya. Bukti tertulis tertua yang berhubungan dengan penggunaan pasak kayu dalam pembuatan perahu atau kapal di Nusantara
berasal dari sumber Portugis awal abad ke-16 Masehi.
Dalam sumber tersebut disebutkan perahu-perahu niaga orang Melayu dan Jawa disebut Jung yang berkapasitas lebih dari 500 ton, dibuat tanpa sepotong besi pun di dalamnya. Untuk menyambung papan maupun gading-gading hanya digunakan pasak kayu. Cara pembuatan perahu dengan teknik tersebut masih tetap ditemukan di Nusantara, seperti yang terlihat pada perahu-perahu niaga dari Sulawesi dan Madura yang kapasitasnya lebih dari 250 ton.
Adapun, kapal-kapal yang dibangun menurut tradisi China mempunyai ciri khas, antara lain tidak mempunyai bagian lunas (bentuk bagian dasarnya membulat), badan perahu atau kapal dibuat berpetak-petak dengan dipasangnya sekat-sekat yang strukturil, antara satu papan dengan papan lain disambung dengan paku besi, dan mempunyai kemudi sentral tunggal.
Dari sekian banyak perahu kuno yang ditemukan di perairan Nusantara, sebagian besar dibangun dengan teknik tradisi Asia Tenggara. Keturunan dari kapal-kapal yang dibangun dengan teknik tradisi Asia Tenggara adalah kapal pinisi dan beberapa perahu tradisional di berbagai daerah di Nusantara. Pada kapal pinisi, teknik papan ikat dan kupingan pengikat dengan menggunakan tali ijuk sudah tidak dipakai
lagi. Para pelaut Bugis sudah menggunakan teknik yang lebih modern, tetapi masih mengikuti teknik tradisi Asia Tenggara.
Dalam bukunya (1544), Antonio Galvao, seorang Portugis, telah menguak tabir pembangunan perahu di Nusantara sebelah timur (daerah Maluku dan sekitarnya). Ia menguraikan, antara lain teknik pembangunan kapal orang Maluku. Menurutnya, bentuk kapal orang Maluku yang menyerupai telur dengan kedua ujung dibuat melengkung ke atas di maksudkan supaya kapal dapat berlayar maju dan mundur.
Comments
Post a Comment