Poros Maritim (5)

TINJAUAN HISTORIS

Sejarah mencatat bangsa Indonesia telah berlayar jauh dengan kapal bercadik. Menggunakan alat navigasi sederhana, mereka mampu berlayar ke utara, ke barat, memotong lautan Hindia hingga Madagaskar, berlanjut ke timur hingga Pulau Paskah.

Semakin ramainya pengangkutan komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan berbasis maritim di wilayah Nusantara. Mereka memiliki armada laut yang sangat kuat. Memasuki masa kerajaan terutama Sriwijaya dan Majapahit, Nusantara adalah negara besar yang disegani di kawasan Asia, dan dunia.

Sebagai kerajaan maritim yang kuat di Asia Tenggara, Sriwijaya telah meletakkan dasar-dasar politik kerajaannya pada penguasaan jalur pelayaran, perdagangan, dan penguasaan wilayah-wilayah strategis sebagai pangkalan kekuatan.

Puncak kejayaan maritim bangsa ini terjadi pada masa Kerajaan Majapahit. Di bawah Raden Wijaya, Hayam Wuruk, dan Patih Gajah Mada, Majapahit menguasai dan mempersatukan nusantara. Pengaruhnya bahkan sampai ke negara-negara asing, seperti Siam, Ayuthia, Lagor, Campa (Kamboja), Anam, India, Filipina, China. 

Kilasan sejarah tersebut memberi gambaran kerajaan-kerajaan di Nusantara dulu mampu menyatukan wilayah Nusantara, dan disegani bangsa lain. Paradigma masyarakat kala itu menciptakan visi maritim sebagai bagian utama dari kemajuan sosial-budaya, ekonomi, politik, dan pertahanan-keamanan.

Fakta sejarah lain yang menandakan bangsa Indonesia terlahir sebagai “bangsa maritim” adalah dengan adanya temuan-temuan situs prasejarah di beberapa belahan pulau. Penemuan situs prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram, dan Arguni, yang dipenuhi lukisan perahu-perahu layar, menggambarkan nenek moyang bangsa ini merupakan bangsa pelaut. 

Ironisnya, dalam perjalanan kehidupan bangsa, visi maritim Indonesia tenggelam. Masuknya penjajah kolonial Belanda pada abad ke-18, mengikis jiwa bahari bangsa Indonesia. Masyarakat dibatasi berhubungan dengan laut, dan didorong  melakukan aktivitas agraris demi kepentingan kolonialis.

Zaman Kerajaan

Wilayah laut yang merupakan dua pertiga wilayah nusantara mengakibatkan sejak masa lampau nusantara diwarnai dengan berbagai pergumulan kehidupan di laut. Bahkan pada masa itu, bangsa Indonesia memiliki pengaruh yang sangat dominan di wilayah Asia Tenggara, terutama melalui kekuatan kerajaan-kerajaan maritimnya. 

Dalam catatan sejarah terekam bukti-bukti bahwa nenek moyang bangsa Indonesia menguasai lautan Nusantara, bahkan mampu mengarungi samudera luas hingga ke pesisir Madagaskar, Afrika Selatan. Penguasaan lautan oleh nenek moyang kita, baik di masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit maupun kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia yang mencintai laut sejak dahulu merupakan masyarakat bahari. 


Nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami dan menghayati arti dan kegunaan laut sebagai sarana untuk menjamin berbagai kepentingan antarbangsa, seperti perdagangan dan komunikasi.Jauh sebelum kedatangan bangsa Portugis yang dipimpin Afonso de Alburquerque ke Malaka pada 1511, pelaut-pelaut nusantara telah dikenal sebagai pelaut  yang tangguh. Pada abad V hingga abad VII masehi kapal-kapal dagang nusantara telah menguasai Asia. 

Pada era itu pedagang Cina banyak bergantung kepada pelaut-pelaut nusantara. Sejak abad ke-9 Masehi, bangsa Indonesia telah berlayar mengarungi lautan ke barat Samudera Hindia (Indonesia) hingga Madagaskar dan ke timur hingga Pulau Paskah.

Robert Dick, seorang peneliti dari London University mengemukakan bahwa pelaut-pelaut nusantara yang telah menguasai perairan dan tampil sebagai penjelajah samudera sejak 1.500 tahun lampau. Ini artinya penjelajahan pelaut-pelaut nusantara itu dilakukan jauh sebelum Cheng Ho maupun Colombus 
mencatatkan sejarah penjelajahan bahari yang fenomenal.

Selanjutnya, Anthony Reid, dalam buku Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, mengutip catatan Diego de Couto dalam buku Da Asia (1645), menuliskan pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad ke-16 itu menyebutkan, orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika, dan Madagaskar. Ia mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad ke-16 berkulit cokelat seperti orang Jawa. 

Menurut Kenneth R. Hall, nusantara memiliki 3 (tiga) laut utama, yakni laut Jawa, laut Flores, dan laut Banda. Hall juga menyatakan pada sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima zona perdagangan (commercial zones).

Pertama, zona perdagangan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera. Keduazona perdagangan Selat Malaka. 

Ketiga, zona perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan. Jaringan ini juga dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut Cina Selatan. 

Keempat, zona perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima, zona Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera. 

Di antara zona-zona tersebut, laut Jawa merupakan kawasan terpenting karena telah terintegrasi oleh jaringan pelayaran dan perdagangan sebelum bangsa Eropa datang. 

Menurut Vincent J. H. Houben, laut Jawa merupakan inti bagi Asia Tenggara. Bahkan, laut Jawa dijuluki mediteranean sea (laut tengah) bagi Indonesia, bahkan Asia Tenggara. Laut Jawa menjadi jembatan penghubung berbagai komunitas yang berada di sekitarnya, baik dalam kegiatan budaya, politik maupun ekonomi. Besarnya armada Laut Jawa dibandingkan kerajaan lain semasanya membuat Jawa menjadi kerajaan maritim terkemuka di seluruh kawasan. 

Sejarah peradaban maritim nusantara ditandai dengan kemasyuran kerajaan Sriwijaya di Palembang (abad ke-7), dan dilanjutkan kejayaan Majapahit di era kekuasaan Hayam Wuruk (1350-1389). Majapahit pun dikenal dengan kebesaran armada lautnya. Armada laut Majapahit memiliki 400 Jung. Jumlah itu jauh lebih besar daripada armada kapal yang dimiliki VOC (Belanda), Spanyol, dan Portugis pada tahun sesudahnya (1674), yaitu 124 kapal. Kemampuan teknologi perkapalan Majapahit jauh lebih dahsyat dari bangsa lain. Bahkan ukuran kapal Majapahit saat itu bisa memuat 600 penumpang, sementara kapal bangsa lain hanya 50 orang.

Sementara, kejayaan Sriwijaya ditandai dengan kedatangan berbagai orang dari berbagai negeri. Banyak sarjana Budha Mahayana yang bermukim di ibukota Sriwijaya sebelum melanjutkan studi di Universitas Nalada di India. Kesaksian atas kemasyuran Sriwijaya juga dapat disaksikan pada catatan I Tsing, seorang bikshu dari Tiongkok. Maupun catatan Al Masudi, seorang musafir sekaligus sarjana Arab, menulis catatan tentang Sriwijaya sebagai kerajaan yang makmur dengan jumlah tentara banyak.

Berdasarkan catatan Groeneveldt, dari Universitas Leiden kerajaan-kerajaan maritim di nusantara pernah melakukan ekspedisi dagang dengan Cina sejak Abad III yakni kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Dinasti kerajaan Cina yang pernah berinteraksi dengan Sriwijaya adalah Dinasti Liang (502-557 Ms), Dinasti Sui (581-617), Dinasti Tang (618-907), Dinasti Song (960-1279), Dinasti Ming (1368-1643). 

Sementara itu, dinasti kerajaan Cina yang pernah berinteraksi dengan Majapahit adalah Dinasti Liu Song (420-479 Ms), Dinasti Liang (502-557), Dinasti Tang (618-907), Dinasti Song (960-1279), Dinasti Yuan (1279-1368), Dinasti Ming (1368-1643).


Referensi
Bernhard Limbong, Poros Maritim, Margaretha Pustaka, Jakarta 2014

Comments

Popular posts from this blog

Penyusunan Hukum Agraria Nasional

Konsepsi Ekonomi Kerakyatan