Poros Maritim (2)

Paradigma Kemaritiman

Konsep poros maritim dalam dirinya mengisyaratkan perubahan paradigma. Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara fisik antar satu pulau  dengan pulau yang lainnya dipisahkan oleh laut, namun dari sisi kemaritiman pemisahan itu tidak pernah ada karena seluruh perairan yang ada di Nusantara adalah pemersatu yang mengintegrasikan  ribuan pulau yang terpisah-pisah.

Laut, bagi kebanyakan suku di wilayah kepulauan kita, merupakan ajang untuk mencari kehidupan. Dari laut dapat dieksploitasi sumberdaya biota dan abiota, serta banyak kegiatan kemaritiman yang menjanjikan dan mempesona. 

Pada mulanya bertujuan mencari hidup dan mempertahankan hidup, pada akhirnya bertujuan mengembangkan kesejahteraan, atau dengan kata lain membangun kejayaan dan kekayaan dari kegiatan kemaritiman. Melalui laut orang dari berbagai bangsa menjalankan aktivitas perekonomian melalui jasa pelayaran antar benua atau antar pulau. Dengan demikian, laut memiliki peran penting bagi warga bangsa Indonesia. 

Bagi bangsa Indonesia, laut mempunyai makna, di antaranya:5 laut sebagai medium transportasi, medium kesejahteraan, dan medium pertahanan. Tanpa laut, tidak ada bangsa Indonesia dan tanpa bangsa Indonesia tidak ada Negara Indonesia. Itu artinya, sifat hakiki Negara bangsa Indonesia adalah maritim. Dengan begitu, sudah saatnya kita kembali ke laut.

Data Indonesia Maritime Institute (IMI) tahun 2014, menunjukkan bahwa potensi laut Indonesia mencapai enam kali lipat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Tapi, potensi kelautan yang ada belum dimanfaatkan secara maksimal. Total potensi ekonomi maritim Indonesia diperkirakan mencapai Rp7.200 triliun per tahun, atau empat  kali lipat dari APBN 2014 (Rp 1.800 triliun). 

Potensi kelautan yang begitu besar pada dasarnya dapat mendorong pembukaan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja sekitar 30 juta orang. Berdasarkan fakta tersebut, arah pembangunan ke depan harus dititikberatkan pada pengoptimalan potensi kelautan. Dengan kata lain, dalam rangka meningkat perekonomian bangsa, maka pembangunan nasional harus berbasis kelautan. Pembangunan berbasis kelautan, selain dapat mengoptimalkan pemanfaatan potensi kelautan juga dapat meningkatkan taraf hidup nelayan dan kelompok masyarakat pesisir lainnya yang menjadikan laut sebagai sumber pencahariaan hidup. 

Terkait paradigma kemaritiman ini, negeri China dapat dijadikan contoh. Sejak awal diberlakukannya sistem ekonomi pasar dan modernisasi China oleh Presiden Deng Xiaoping pada tahun 1979, pembangunan kelautan menjadi platform pembangunan.6 Pembangunan infrastruktur, industrialisasi, dan kawasan ekonomi khusus secara masif dan kolosal diawali dari wilayah pesisir, mulai pantai selatan seperti Kota Shenzhen dan Guangzhou hingga pantai utara seperti Shanghai dan Dalian di China. 

Pelabuhan laut kelas dunia, industri galangan kapal, elektronik, automotif, IT, perikanan tangkap, budi daya laut, bioteknologi kelautan, dan beragam industri lainnya dibangun di sepanjang wilayah pesisir. Setelah itu,baru dibangun wilayah-wilayah darat di bagian hulu sesuai dengan potensi lokalnya.7

Lalu, antara wilayah hulu, pesisir, dan lautan dihubungkan dengan infrastruktur dan sarana perhubungan (darat, laut, dan udara) yang sangat memadai dengan kualitas internasional. Strategi pembangunan wilayah berawal dari pinggir/ laut menuju tengah/darat inilah yang membuat ekonomi China sangat efisien dan kompetitif.8

Hasilnya, hanya dalam dua dekade China mampu mentransformasi dirinya, dari bangsa terbelakang dan miskin sebelum 1979 menjadi bangsa maju dan makmur sejak 2000. Pertumbuhan ekonomi rata-rata dalam 20 tahun terakhir mencapai 10% pertahun. Sejak 2011, besaran ekonomi (PDB) China menempati urutan kedua di dunia, dan diperkirakan bakal menggeser posisi Amerika Serikat di urutan pertama 
pada masa mendatang.9

Dalam bidang kelautan, China menjadi produsen perikanan terbesar (65 juta ton), produsen kapal terbesar kedua di dunia, dan kini memiliki kekuatan hankam maritim serta menguasai iptek kelautan setingkat dengan AS dan negara-negara maju lainnya. Ke depan di bawah kepemimpinan Xi Jinping, China dipastikan bakal lebih mengandalkan laut sebagai sumber pangan, energi, mineral, dan SDA lainnya.

Orientasi kebijakan ini tercermin pada agresivitas China dalam memperebutkan klaim wilayah atas Laut China Selatan berhadapan dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei. Di wilayah laut yang diperebutkan lima negara itu, terkandung sumber daya ikan sedikitnya tiga juta ton/tahun, cadangan migas yang sangat besar, dan berbagai mineral lainnya. 

Pemerintah China juga mendorong dengan berbagai insentif kepada armada perikanan nasionalnya untuk menjadi ocean-going fishing fleets menangkap ikan di wilayah-wilayah perairan laut internasional (high seas) dan bahkan di wilayah-wilayah laut miliki negara lain.

Bagi bangsa Indonesia, strategi pembangunan China yang berorientasi pada lautan (ocean-based development) menarik sekaligus ironis. Pasalnya, China hanya memiliki luas laut sekitar 25% dari seluruh wilayah negaranya. Sementara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.487 pulau dan 75% wilayahnya berupa laut, platform pembangunannya sejak masa kolonialisme sampai sekarang berorientasi pada daratan. Paradigma pembangunan berbasis daratan ini diyakini telah menyebabkan pembangunan ekonomi Indonesia kurang efisien dan berdaya saing.

Begitu banyak potensi pembangunan di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, dan laut yang hingga kini belum tergarap secara optimal. Sektor ekonomi kelautan yang dapat dikembangkan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa, antara lain: 
(1) perikanan tangkap, (2) perikanan budi daya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) ESDM (energi dan sumber daya mineral), (6) pariwisata bahari, (7) hutan pantai (mangroves), (8) perhubungan laut, (9) industri dan jasa maritim, (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan (11) sumber daya nonkonvensional.
Kesempatan kerja yang bisa dibangkitkan dari sebelas sektor ekonomi itu mencapai 50 juta orang, sekitar 42% dari total angkatan kerja saat ini 120 juta orang. 

Sayang, sampai sekarang kontribusi seluruh sektor ekonomi kelautan terhadap PDB Indonesia baru 22%. Padahal, negara-negara dengan potensi kelautan yang lebih kecil, seperti Norwegia, Islandia, Cile, Thailand, Korea Selatan, Jepang, dan China sektor ekonomi kelautannya menyumbang antara 30–60% terhadap PDB.

Oleh sebab itu, reorientasi paradigma pembangunan bangsa, dari berbasis daratan menjadi berbasis kelautan dan kepulauan harus dilakukan. Reorientasi paradigma pembangunan ini dapat terwujud dengan melaksanakan gerakan perubahan pembangunan ekonomi dan budaya bangsa secara simultan. Budaya bahari bangsa perlu ditumbuhkembangkan, terutama di kalangan generasi muda agar lebih mencintai laut dan bangga bekerja di profesi kelautan. 

Dalam bidang ekonomi, penyusunan tata ruang dan masterplan pembangunan ekonomi harus berdasarkan pada potensi untuk dan dimulai dari kawasan pesisir dan laut. Kawasan-kawasan ekonomi khusus (KEK) berbasis klaster industri kelautan yang inovatif dilengkapi dengan pelabuhan modern harus dibangun di sepanjang wilayah pesisir, alur laut kepulauan Indonesia (ALKI), dan pulau-pulau kecil.

Semua sektor ekonomi perlu dibangun den ingan menggunakan inovasi teknologi, manajemen profesional, ramah lingkungan, dan adaptif terhadap perubahan iklim global serta bencana alam lainnya. Selain itu, pembangunan ekonomi kelautan harus bersifat inklusif, mengutamakan rakyat dan swasta nasional. Dengan demikian, pembangunan kelautan akan mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi relatif tinggi dan berkualitas secara berkelanjutan menuju terwujudnya Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat.

Referensi

Bernhard Limbong, Poros Maritim, Margaretha Pustaka, Jakarta 2014

Comments

Popular posts from this blog

Penyusunan Hukum Agraria Nasional

Konsepsi Ekonomi Kerakyatan