Paradigma Ganti Kerugian dan Kompensasi Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan


Sebelum melihat lebih jauh mengenai topik bahasan di atas, terlebih dahulu dibahas mengenai makna istilah ganti rugi dan kompensasi. Bila mengacu pada hukum positif yang berlaku, istilah ganti rugi lebih populer dibandingkan dengan istilah kompensasi. Terkait hukum pengadaan tanah, pembuat undang-undang lebih memilih istilah ganti rugi untuk menggantikan istilah kompensasi.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) ganti rugi timbul sebagai akibat dari wanprestasi dalam suatu perikatan, baik karena perjanjian maupun karena undang-undang.Ganti rugi terdiri dari biaya rugi dan bunga.Ganti rugi harus mempunyai hubungan langsung (hubungan kausal) dengan ingkar janji. Rugi adalah kerusakan barang kreditur karena kelalaian debitur. Sementara, bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan (winstderving).

Dalam Pasal 1248  KUHPerdata, misalnya, diatur mengenai tidak dipenuhinya sebuah perikatan karena tipu muslihat debitur. Dalam kasus seperti ini, penggantian biaya rugi dan bunga diberikan terbatas pada kerugian yang diderita oleh kreditur dan keuntungan yang terhilang baginya yang merupakan akibat langsung dari tidak terpenuhinya perikatan.

Dalam KUHPerdata diatur juga kerugian immaterial disamping kerugian material yang dilihat sebagai kehilangan keuntungan yang diharapkan. Kerugian immaterial (tidak berwujud) yaitu suatu tuntutan ganti rugi dari seseorang yang merasa dirugikan karena kehilangan kenikmatan atas suatu ketenangan yang disebabkan orang lain.

Istilah ganti rugi atau ganti kerugian tidak ditemui dalam hukum pidana materiil (KUHP), tetapi hanya muncul dalam hukum pidana formil (KUHAP). Menurut KUHAP, ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukumnya yang diterapkan menurut undang-undang.

Dalam Pasal 95 Ayat (1) KUHAP misalnya diatur mengenai hak tersangka, terdakwa atau terpidana untuk menuntut ganti kerugian apabila ditangkap, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Itu artinya, KUHAP memperkenankan seseorang (korban) menuntut ganti rugi melalui pengadilan jika terhadap dirinya terdapat kekeliruan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa berdasarkan undang-undang.

Dengan demikian, ganti rugi di dalam KUHAP ini tidak menyangkut soal tanah, tetapi dalam delik-delik tertentu. Misalnya, bila seseorang dituduh karena kepemilikan tanahnya tidak benar, tetapi setelah diadakan proses peradilan ternyata tuduhan itu fitnah dan lain sebagainya. 

Ganti kerugian yang utama adalah penggantian kerugian bila harta pemilik yang dicabut dari harta pribadinya. Pada intinya, nilai ganti rugi yang dibayar tersebut harus sama dengan nilai yang diambil. Hal ini terkait tujuan dari ganti rugi itu untuk mendapatkan uang yang nilainya setara dengan nilai tanah yang diambil. Bila nilai yang diberikan tidak sama, maka hal itu bukan merupakan ganti rugi tanah, tetapi disebut sekadar pemberian uang penggusuran tanah. Rasio pemberian ganti rugi tanah dengan nilai yang sama dengan nilai tanah yang digusur merupakan penghormatan serta perlindungan hak-hak atas tanah rakyat yang diberikan secara bijaksana dan adil sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Sementara itu, istilah kompensasi lebih populer digunakan dalam peraturan perundangan-undangan di negara-negara lain di dunia. Ketika digunakan dalam konteks pengadaan tanah, kompensasi dibatasi sebagai balasan atau imbalan untuk tanah yang dibebaskan. Artinya, sejumlah uang yang diperoleh pemilik tanah setelah melepaskan tanahnya senilai dengan nilai tanah di pasar terbuka ditambah kerugian lain akibat pelepasan hak atas tanah. 

Dengan kata lain, kompensasi dimaknai sejumlah uang yang harus dibayar kepada pemegang hak atas kehilangan tanahnya. Jumlah yang dibayar tidak hanya untuk tanah yang diambil, tetapi juga kerugian lain yang diderita akibat dari akuisisi. Prinsip mendasar dalam kompensasi adalah menempatkan pemilik tanah yang terkena dampak dalam posisi yang sama setelah akuisisi seperti keadaan dia sebelumnya, tidak lebih buruk, atau lebih baik. Lebih dikenal sebagai prinsip kesetaraan.

Bila mengacu pada pembahasan mengenai istilah ganti rugi dan kompensasi sebelumnya, penggunaan istilah ganti kerugian dalam konteks pengadaan tanah cenderung berarti ada paradigma bahwa pemilik hak atas tanah itu sudah mengalami kerugian sebelum pelepasan tanahnya untuk kepentingan umum. 

Hal ini berbeda dengan kompensasi. Proyek pengadaan tanah itu tidak identik dengan proses pemiskinan masyarakat. Istilah yang tepat untuk digunakan adalah ‘kompensasi’. Ganti rugi itu identik dengan korban. Di sisi lain, dalam pengadaan tanah tidak perlu adanya korban. Hal itu berarti pembuat undang-undang pada saat membuat undang-undang telah mengasumsikan bahwa akan terjadi korban pada saat pengadaan tanah untuk kepentingan umum, padahal itu tidak mesti terjadi.

Berbeda dengan Indonesia, hampir seluruh negara di dunia menggunakan istilah kompensasi untuk mengganti tanah dan seluruh aspek yang melekat pada tanah pada saat pelepasan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum. Bahkan, negara-negara tersebut mengatur secara jelas bentuk kompensasi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah baik itu pemilik tanah (land owner) maupun pemakai tanah (land user).

Pertanyaannya: apakah yang membedakan makna ganti rugi dan makna kompensasi? Sebagai bukti bahwa istilah ‘ganti rugi’ memiliki konotasi korban, terlihat dari cara perhitungan pemerintah atas harga tanah, yakni berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP),  tidak berdasarkan harga tanah terkini. Pemilik tanah sulit membeli kembali tanah atau mendapatkan harga tanah yang sudah semakin mahal. Bukti lain adalah paradigma dari pemerintah bahwa kalau untuk kepentingan umum, pemilik tanah itu terugikan/korban.

Bila dibandingkan dengan praktik di negara lain, di Malaysia dan Vietnam misalnya, menunjukkan bahwa tidak ditemukan kerugian yang diderita oleh pemegang hak atas tanah dari pelepasan tanah mereka. Berdasarkan pengalaman di dua negara itu, pemakai tanah ‘dijamin’ mendapat keuntungan dari kompensasi yang diterima, bukan kerugian. Dengan demikian, tidak tepat istilah ganti rugi karena tidak ada yang rugi, bahkan yang didapat justru keuntungan sehingga istilah yang tepat ialah kompensasi.

Pada prinsipnya, tidak ada kerugian dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Berbeda kalau dalam kasus bencana, seperti tanah longsor dan letusan gunung berapi. Dalam kasus ini, jelas ada kerugian karena orang pasti kehilangan rumah atau tanah mata pencaharian. 

Dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pemilik tidak dirugikan karena mereka mendapat kompensasi atas pelepasan hak atas tanah mereka. Di samping itu, sebuah proyek pembangunan untuk kepentingan umum dilaksanakan secara terencana sehingga tidak perlu muncul asumsi bahwa ada pihak yang dirugikan, kecuali kalau berpegang pada pandangan apriori bahwa akan ada kerugian bagi pemilik tanah jika tanah dilepaskan untuk kepentingan umum.

Berbeda dengan istilah ‘ganti rugi’ yang berasumsi ada pihak yang rugi, ‘kompensasi’ pada dasarnya memiliki posisi yang setara. Bahkan, nilai kompensasi menjadi lebih tinggi karena ada perhitungan aspek nonfisik yang dirasakan oleh pemilik hak atas tanah pada saat melepaskan tanahnya. Karena itu, alasan mengapa lebih dipakai istilah ‘kompensasi’ daripada ‘ganti rugi’ adalah bahwa supaya negara menghitung nilai tanah dan aspeklainnya yang berhubungan dengan tanah yang dilepaskan untuk kepentingan umum, termasuk aspek nonfisik.

Comments

Popular posts from this blog

Penyusunan Hukum Agraria Nasional

Konsepsi Ekonomi Kerakyatan