Menyoal Komponen Kompensasi Dalam Pengadaan Tanah
Pada postingan sebelumnya, disajikan bagaimana kompensasi pengadaan tanah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Nah, pada postingan kali ini, hendak disajikan seperti apa komponen kompensasi dalam pengadaan tanah.
Kompensasi dapat menjamin kesejahteraan pemegang hak atas tanah mengandaikan terakomodasinya semua komponen yang patut diberikan kompensasi. Alhasil, bentuk kompensasi pun dapat disesuaikan dengan komponen-kompenen tersebut.
Pada prinsipnya, komponen kompensasi merupakan kerugian atau kehilangan ataupun gangguan yang dialami warga yang yang terkena dampak proyek pembangunan untuk kepentingan umum yang patut diberikan kompensasi. Itu berarti komponen kompensasi mencakup aspek fisik dan aspek nonfisik. Aspek fisik terutama terkait tanah dan benda-benda yang ada di atas tanah, seperti rumah, bangunan, dan tanaman. Sedangkan, aspek kompensasi non-fisik mencakup hal-hal yang bersifat sosiologis dan filosofis.
Komponen kompensasi yang diatur baik Keppres[1] maupun Perpres[2] Pengadaan Tanah, mencakup: a) hak atas tanah; b) bangunan; c) tanaman; d) benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Selanjutnya, menurut UU Pengadaan Tanah,[3] komponen kompensasi yang dinilai, meliputi: a) tanah; b) ruang atas tanah dan bawah tanah; c) bangunan; d) tanaman; e) benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f) kerugian lain yang dapat dinilai.
Sepintas terlihat ketentuan mengenai komponen kompensasi sedikit mengalami perubahan dalam UU Pengadaan Tanah. UU Pengadaan Tanah selain mengakomodasi komponen fisik (huruf a sampai huruf e) juga mengakomodasi komponen nonfisik (huruf f[4]). Namun, komponen fisik maupun nonfisik yang diakomodasi dalam regulasi pengadaan tanah sepertinya tidak seimbang. Regulasi kita lebih mengakomodasi komponen fisik dibandingkan dengan komponen nonfisik.
Hal ini berarti bahwa komponen kompensasi yang diatur dalam regulasi kita jauh dari kata ideal bila dibandingkan dengan komponen kompensasi yang dinilai menurut kebijakan internasional. Menurut kebijakan internasional, komponen kompensasi, mencakup:[5] 1) tanah itu sendiri; 2) perbaikan atas tanah, termasuk tanaman; 3) nilai dari setiap keuntungan keuangan lainnya dari nilai pasar bahwa orang mendapat kenikmatan dengan memiliki atau menempati tanah tersebut; 4) bunga kompensasi yang tidak dibayar sesuai tenggat waktu; 5) biaya yang timbul sebagai akibat langsung dan wajar dari pelaksanaan pengadaan tanah; 6) kehilangan nilai tanah lainnya yang dimiliki oleh pemilik yang terkena dampak akibat proyek;[6] 7) biaya hukum atau profesional termasuk biaya untuk memperoleh saran, dan mempersiapkan dan mengirimkan dokumen; 8) biaya pindah dan biaya untuk memperoleh akomodasi alternatif; 9) biaya yang terkait dengan reorganisasi operasi pertanian ketika hanya sebagian bidang tanah yang diambil; 10) kehilangan nilai bisnis yang dipindahkan, atau jika bisnis tersebut secara permanen ditutup; 11) hilangnya pendapatan sementara; 12) kesulitan pribadi; dan 13) kerugian atau kerusakan lain yang diderita.
Merujuk pada kebijakan internasional tersebut, Standar Penilaian Indonesia coba menerjemahkan komponen kompensasi fisik dan nonfisik yang diatur dalam regulasi pengadaan tanah.[7] Objek penilaian dalam penentuan kerugian fisik meliputi: tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, dan benda yang berkaitan dengan tanah seperti utilitas dan sarana pelengkap bangunan.
Sementara itu, kerugian non fisik meliputi: pertama, penggantian terhadap kerugian pelepasan hak dari pemegang hak atas tanah yang akan diberikan imbalan serta diukur dalam bentuk uang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penggantian ini dapat meliputi: kehilangan pekerjaan atau kehilangan bisnis termasuk alih profesi, kerugian emosional (solatium) yaitu kerugian tidak berwujud yang dikaitkan dengan pengambilalihan tanah yang digunakan sebgai tempat tinggal dari pemilik, dan hal-hal lain yang ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak terkait.
Kedua, biaya transaksi, dapat meliputi biaya pindah dan pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, kompensasi masa tunggu (bunga), yaitu sejumlah dana yang diperhitungkan sebagai pengganti adanya perbedaan waktu antara tanggal penilaian dengan perkiraan tanggal pembayaran kompensasi.
Keempat, kerugian sisa tanah, adalah turunnya nilai tanah akibat pengambilan sebagian bidang tanah. Dalam hal sisa tanah tidak lagi dapat difungsikan sesuai peruntukkannya maka dapat diperhitungkan penggantian atas keseluruhan bidang tanahnya.
Kelima, kerugian fisik lain, misalnya bagian bangunan yang terpotong akibat pengadaan tanah sehingga membutuhkan biaya perbaikan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Komponen kompensasi seyogianya diatur secara terperinci dan detail sebagaimana dirangkum dalam kebijakan internasional di atas. Selain itu, komponen fisik dan nonfisik harus diakomodasi secara seimbang. Dengan begitu, penilai publik yang mendapat tugas untuk melakukan penilaian terhadap komponen kompensasi tidak mengalami kendala dan hambatan. Pada gilirannya pun, besarnya nilai kompensasi berdasarkan hasil penilaian penilai terhadap komponen kompensasi diterima warga terkena dampak karena dipastikan bahwa kompensasi yang diberikan menjamin kehidupan yang lebih baik dan sejahtera.
Sekiannnn….Selamat Membaca..
Referensi
[1] Lihat Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pasal 12
[2] Lihat, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Pasal 12
[3] Lihat, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pasal 33
[4] Dalam penjelasan huruf (f) dijabarkan bahwa “kerugian lain yang dapat dinilai” adalah kerugian nonfisik yang dapat disetarakan dengan nilai uang, misalnya kerugian karena kehilangan usaha atau pekerjaan, biaya pemindahan tempat, biaya alih profesi, dan nilai atas properti sisa.
[5] Food and Agriculture Organization (FAO), Compulsory Acquisition of Land and Compensation, FAO Land Tenure Studies, Roma, 2009. Bahkan, Bank Pembangunan Asia secara khusus menganjurkan komponen kompensasi untuk tanah adat yang mendetail yang mencakup: 1) lahan pertanian; 2) petak rumah (dimiliki atau ditempati); 3) tempat usaha (milik atau ditempati); 4) akses ke lahan hutan; 5) hak penggunaan tradisional; 6) tanah komunal atau padang rumput; 7) akses ke kolam ikan dan tempat memancing; 8) rumah atau tempat tinggal; 9) bangunan fisik lainnya; 10) bangunan yang digunakan untuk kegiatan komersial dan industrial; 11) perpindahan dari tempat komersial yang disewa atau ditempati; 13) penghasilan dari tanaman; 14) penghasilan dari sewa atau bagi hasil; 15) penghasilan dari upah; 16) penghasilan dari bisnis yang terkena dampak; 17) penghasilan dari pohon atau tanaman tahunan; 18) pendapatan dari hasil hutan; 19) penghasilan dari tambak dan tempat-tempat memancing; 20) pendapatan dari tanah penggembalaan; 21) sekolah, pusat-pusat komunitas, pasar, pusat kesehatan; 22) kuil, tempat keagamaan, tempat ibadah dan tempat-tempat suci; 23) kuburan dan tempat pemakaman lainnya; dan 24 ) akses ke makanan, obat-obatan, dan sumber daya alam.
[6] Di beberapa negara, kompensasi akan berkurang jika tanah sisa meningkat dalam nilai sebagai akibat dari proyek; sebuah kondisi yang terkadang disebut sebagai perbaikan.
[7] Komite Penyusun Standar Penilaian Indonesia, Kode Etik Penilai Indonesia dan Standar Penilaian Indonesia, Edisi VI 2015, Jakarta, MAPPI, 2015
Comments
Post a Comment