Kompensasi Pengadaan Tanah (2)



Sebelumnya telah diuraikan ketentuan kompensasi pengadaaan tanah yang diatur dalam Keputusan Presiden. Pada postingan kali ini diuraikan ketentuan kompensasi pengadaaan tanah yang diatur dalam Peraturan Presiden. 

Menurut Peraturan Presiden

Ada dua Perpres yang mengatur tentang kompensasi dalam pelaksanaan pengadaan tanah, yaitu: Perpres Nomor 36 Tahun 2005[1] dan Perpres Nomor 65 tahun 2006.[2] Perpres Nomor 65 tahun 2006 merupakan revisi atas Perpres Nomor 36 Tahun 2005.

Pasal 1 Angka 3 Perpres No. 36 tahun 2005 menyebutkan bahwa pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan kompensasi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.[3] Dalam Perpres itu juga disebutkan bahwa pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan kompensasi atas dasar musyawarah. Hal tersebut berarti bahwa kompensasi diberikan ketika seseorang melepaskan atau menyerahkan hak penguasaan atas tanah.

1.   Pengertian Kompensasi

Perpres No. 36 tahun 2005 merumuskan kompensasi sebagai penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.[4]

Bila dibandingkan dengan rumusan kompensasi dalam Keppres No. 55 tahun 1993, pengertian kompensasi dalam Perpres No. 36 tahun 2005 jauh lebih luas dan lebih akomodatif terhadap kepentingan pemegang hak atas tanah. Hal ini terkait dengan adanya penggantian terhadap kerugian yang bersifat nonfisik.

2.   Bentuk dan Dasar Penetapan Kompensasi

Menurut Perpres No. 36 tahun 2005, kompensasi dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk:[5] (a) hak atas tanah; (b) bangunan; (c) tanaman; (d) benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Bentuk kompensasi dapat berupa:[6] (a) uang; dan/atau (b)  tanah pengganti; dan/atau (c) pemukiman kembali. Dalam hal pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk kompensasi tersebut, maka dapat diberikan kompensasi berupa penyertaan modal (saham). Penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.[7]

Bentuk kompensasi yang diatur dalam Perpres no. 36 tahun 2005 tersebut mengalami penambahan dalam Perpres No. 65 tahun 2006. Bentuk kompensasi menurut Perpres no. 65 tahun 2006 dapat berupa: (a) uang; dan/atau (b) tanah pengganti; dan/atau (c) pemukiman kembali; dan/atau (d) gabungan dari dua atau lebih  bentuk  kompensasi sebagaimana dimaksud  dalam  huruf  a,  huruf  b,  dan  huruf c; dan (e) bentuk lain yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Terkait dasar perhitungan kompensasi, dalam Perpres No. 36 tahun 2005 dan Perpres no. 65 tahun 2006 dijabarkan bahwa  perhitungan besarnya kompensasi didasarkan pada:[8] a) nilai jual obyek pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan berdasarkan penetapan lembaga atau tim penilai harga tanah yang ditunjuk oleh panitia; b) nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan; dan c) nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.

3.   Musyawarah Penetapan Kompensasi

Musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya kompensasi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.

Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai:[9] (1) pelaksanaan pembangunan di lokasi tersebut dan (2) bentuk dan besarnya kompensasi.
Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah bersama panitia pengadaan tanah, dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah.[10]

Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk[11] di antara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka. Musyawarah dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah.

Apabila setelah diadakan musyawarah tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan bentuk dan besarnya kompensasi dan menitipkan kompensasi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi Iokasi tanah yang bersangkutan.[12] Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan kompensasi, maka panitia menitipkan uang kompensasi kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain,  maka musyawarah  dilakukan  dalam  jangka waktu  paling  lama 120 (seratus dua puluh) hari  kalender  terhitung  sejak tanggal undangan pertama. Apabila  setelah  diadakan  musyawarah  tidak tercapai  kesepakatan,  panitia pengadaan tanah  menetapkan  besarnya kompensasi dan menitipkan kompensasi uang kepada pengadilan  negeri yang  wilayah  hukumnya  meliputi  lokasi  tanah yang bersangkutan. 

Apabila  terjadi  sengketa  kepemilikan  setelah penetapan kompensasi,  maka panitia  menitipkan  uang  kompensasi  kepada  pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. Selanjutnya, dalam Pasal 11 disebutkan bahwa apabila dalam musyawarah telah dicapai kesepakatan antara pemegang hak alas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah, panitia pengadaan tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besamya kompensasi sesuai dengan kesepakatan tersebut.

4.   Penerima Kompensasi

Menurut Perpres ini, kompensasi diserahkan langsung kepada pemegang hak atas tanah atau yang berhak atau nadzir bagi tanah wakaf. Dalam hal tanah, bangunan, tanaman, atau benda yang berkaitan dengan tanah dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang pemegang hak atas tanah tidak dapat ditentukan, maka kompensasi yang menjadi hak orang yang tidak dapat ditemukan tersebut dititipkan di pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

Apabila  yang  berhak  atas  tanah  atau  benda-benda  yang  ada  di atasnya  yang  haknya  dicabut  tidak  bersedia  menerima  kompensasi karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan  dapat meminta  banding  kepada  Pengadilan Tinggi.



[1]     Lihat, Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
[2]     Lihat, Peraturan Presiden Nomor  65  Tahun  2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
[3]     Ketentuan tersebut juga tidak berbeda jauh dengan yang diatur dalam Perpres No. 65 tahun 2006. Dalam Perpres No. 65 tahun 2006 disebutkan bahwa pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada  yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan,  tanaman,  dan  benda-benda  yang  berkaitan dengan tanah.
[4]     Lihat Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,  Pasal 1 Angka 11
[5]     Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Ibid, Pasal 12
[6]     Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Ibid, Pasal 13
[7]     Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Ibid, Pasal 14
[8]     Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Ibid, Pasal 15
[9]     Ibid, Pasal 8
[10]   Ibid, Pasal 9
[11] Penunjukan wakil atau kuasa dari para pemegang hak harus dilakukan secara tertulis, bermaterai cukup yang diketahui oleh Kepala esa/Lurah atau surat penunjukan/kuasa yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.
[12]  Ibid, Pasal 10

Comments

Popular posts from this blog

Penyusunan Hukum Agraria Nasional

Konsepsi Ekonomi Kerakyatan