Bank Tanah Sebagai Solusi Persoalan Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan

Hampir pasti kebutuhan akan tanah sebagai wadah bagi kegiatan pembangunan semakin hari semakin meningkat. Kenyataan ini membuat pemerintah baik pusat maupun daerah berupaya untuk menyeimbangkan kebutuhan dan ketersediaan tanah. Hampir pasti bahwa hal ini tidak mudah mengingat semakin berkurangnya ketersediaan tanah yang memenuhi syarat untuk pembangunan. Lebih dari itu, sejumlah persyaratan pun harus diakomodasi, antara lain: lokasi yang tepat, harga yang wajar, dan pelaksanaan kegiatan pembebasan tanahnya nirkonflik (terutama dengan para pemilik tanah atau yang menguasai tanah-tanah yang menjadi objek pembangunan).

Di sinilah letak pentingnya keberadaan bank tanah sebagai salah satu cara atau teknik mengatasi persoalan ketersediaan tanah untuk kepentingan pembangunan; mulai dari kegiatan pengadaan tanah, pematangan tanah, sampai pada penyaluran tanah untuk berbagai keperluan pembangunan. Tentunya pelaksanaan ketiga tahapan tersebut harus dilengkapi dengan informasi serta data pertanahan yang akurat melalui kegiatan pendaftaran tanah. Untuk kegiatan ini pula diperlukan rencana tata ruang wilayah/kota yang akan menjadi acuan atau pedoman dalam menetapkan lokasi-lokasi tanah yang menjadi objek bank tanah serta untuk menetapkan peruntukan dan penggunaan tanah.

Konsep bank tanah pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan konsep bank konvensional. Kesamaan yang paling nyata ialah terkait fungsi intermediasi bank konvensional dan bank tanah. Bank konvensional menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito tabungan dan simpanan dari masyarakat kemudian mengembalikan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dana melalui penjualan jasa keuangan.

Sementara itu, bank tanah menghimpun tanah dari masyarakat terutama yang ditelantarkan dan tanah negara yang belum digunakan. Selanjutnya, tanah yang dihimpun tersebut dikembangkan dan didistribusikan kembali sesuai rencana penggunaan tanah atau disewakan kepada masyarakat. Sederhananya, bank tanah merupakan sarana manajemen tanah dalam rangka pemanfaatan dan penggunaan tanah menjadi lebih produktif.

Konsep bank tanah bukanlah konsep baru. Konsep bank tanah telah diterapkan berpuluh-puluh tahun silam di beberapa negara khususnya di daratan Eropa dan Amerika. Kala itu, perencana kota menyarankan setiap kota mengambil tanah kosong di pinggiran kota untuk perencanaan penggunaan jangka panjang dan mengendalikan kondisi kota yang tidak tertata. Bank tanah diusulkan sebagai metode alternatif perencanaan penggunaan tanah pemerintah melalui kontrol buatan dan stabilisasi pasar tanah lokal. Praktik bank tanah yang dijalankan di Eropa pun terutama berkaitan dengan pembaharuan kota.

Di Belanda, bank tanah dimulai pada tahun 1896, persisnya di kota Amsterdam untuk mengimbangi pertumbuhan kota yang pesat. Sejak saat itu, bank tanah dianggap sebagai sarana untuk mempromosikan kepentingan publik dalam hal perumahan dan lingkungan hidup yang layak.

Program bank tanah juga dijalankan di Swedia, persisnya di kota Stockholm pada tahun 1904. Kota Stockholm pun menjadi salah satu kota Swedia pertama yang mulai membeli tanah untuk bank tanah dan terus menjadi salah satu kota yang paling aktif dalam menanggapi dan mengelola pertumbuhan perkotaan. 

Pada tahun 1979 sekitar 70 persen tanah di Swedia telah menjadi milik publik. Selama bertahun-tahun Swedia telah memberlakukan regulasi penggunaan tanah dan memulai program investasi tanah yang konsisten. Di Prancis, penerapan bank tanah dimulai pada tahun 1958. Bank tanah diterapkan di tingkat nasional sebagai wujud komitmen pemerintah untuk pembangunan perumahan.

Sumber: http://landdiary.blogspot.co.id/2011/01/land-banking.html

Umumnya, bank tanah menggunakan tanah milik masyarakat sebagai sumber tanah. Dalam pelaksanaannya di beberapa negara, bank tanah memperoleh tanah melalui mekanisme pembelian wajib dan non-wajib. Metode wajib digunakan apabila kegiatan bank tanah memiliki dampak besar terhadap pengembangan kota. Selain itu, bank tanah dapat dijalankan oleh banyak pihak. Bank tanah digunakan oleh sektor publik dan swasta sebagai metode pengendalian pembangunan. Bagi sektor publik, bank tanah merupakan metode mengendalikan spekulasi pasar dan pengembangan tanah.

Dalam praktiknya di sejumlah negara, pengembangan struktural bank tanah memiliki dua fase dasar, yakni fase penyediaan dan fase operasional prosedur untuk proses pengambilan keputusan pada akuisisi, pengelolaan, dan pembagian tanah. Penentuan jenis kelembagaan yang sesuai untuk mengelola sebuah bank tanah tergantung pada tujuan yang ingin dicapai (bank tanah umum, bank tanah untuk pembangunan perumahan, pembangunan kembali), skala (regional, kota, proyek tertentu), dan kemampuan entitas untuk melakukan kegiatan sehubungan dengan pertimbangan hukum, keuangan, dan perencanaan.

Dalam implementasinya, bank tanah menghadapi sejumlah tantangan terutama berkaitan dengan pembiayaan operasional. Umumnya, tantangan tersebut terkait: ketersediaan dana selama fase awal pembentukan, bagaimana menyeimbangkan tujuan dan sumber daya keuangan, dan kebutuhan sumber daya pendanaan skala besar. Dengan demikian, efektifitas operasi bank tanah bergantung pada sumber dana yang stabil dan berkelanjutan.

Salah satu pilihan untuk membiayai bank tanah adalah dana pemerintah dalam bentuk hibah atau pinjaman. Pengalaman di Prancis dapat diambil sebagai contoh. Di Prancis, pajak lokal dipungut untuk membiayai pembelian tanah. Itu artinya, jika konsep bank tanah terhubung ke pembangunan ekonomi dan upaya revitalisasi pajak akan dipandang lebih menguntungkan dan kontrol lokal dari pasar tanah akan kurang ditentang oleh sektor swasta.

Di Belanda, proses yang sama dilakukan. Pemerintah daerah membeli tanah untuk mengantisipasi pertumbuhan wilayah perkotaan pada masa mendatang. Pemerintah menyiapkan tanah untuk pembangunan sesuai dengan rencana penggunaan tanah dan kemudian menjual atau menyewakan pengembangan tanah kepada pengembang. Dalam hal ini, bagaimana nilai pasar tanah dihitung menjadi faktor penentu keberhasilan pelaksanaan bank tanah. Di Belanda, nilai penggunaan tanah tidak dispekulasi untuk penggunaan dan nilai masa depan. Pemerintah kota memperoleh pinjaman dari bank untuk membiayai pembelian mereka atau untuk subsidi perumahan dari pemerintah nasional.

Penerapan konsep bank tanah pun memperoleh keuntungan dalam menjalankan fungsinya. Potensi sumber pendapatan yang dapat diperoleh bank tanah yang dapat dihitung, meliputi: biaya transfer pada transaksi real estate, alokasi pajak keuntungan modal sehubungan dengan transaksi tanah, dan alokasi kenaikan tambahan dalam pajak properti yang dihasilkan dari peningkatan nilai tanah.

Dalam konteks Indonesia, wacana pembentukan lembaga bank tanah ini telah digulirkan pada tahun 1980-an yang berlanjut pada tahun 1990-an. Gagasan pembentukan lembaga bank tanah ini berasal dari pemerintah saat itu. Hal itu terkait pertambahan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di sisi lain, ketersediaan tanah sebagai wadah pelaksanaan pembangunan terbatas.

Pada prinsipnya, bank tanah seringkali dihubungkan dengan sarana manajemen tanah yang mapan. Bank tanah merupakan instrumen manajemen tanah yang telah digunakan di berbagai negara untuk menangani berbagai isu seperti pemindahan tanah dan pemanfaatan tanah yang lebih produktif. 

Bank tanah ditandai sebagai akuisisi tanah secara sistematis terhadap tanah yang belum dikembangkan, tanah terlantar, atau yang ditinggalkan kosong dan dianggap memiliki potensi untuk pengembangan. Akuisisi tanah publik yang dilakukan bank tanah diadakan untuk penggunaan masa depan dan dalam rangka menerapkan kebijakan tanah publik (Land banking is a systematic acquisition of often large pieces of land, normally land that is pre‐development but could be considered having potential for development. Land banking  has been defined as public or publicly authorized acquisition of land to be held for future use to implement public land policies).

Dengan demikian, bank tanah mengacu pada proses akuisisi tanah masyarakat yang belum dikembangkan atau tidak produktif untuk tujuan pengembangan di masa mendatang. Melalui bank tanah, pemerintah dapat memberi pengaruh pada kebijakan yang berimplikasi spasial, baik dalam persoalan infrastruktur, lingkungan atau pun pertanian. Bank tanah merupakan strategi intervensi dalam persoalan pasar tanah dan kepemilikan tanah pribadi. Pemerintah tidak harus memanipulasi atau mengontrol tetapi dapat lebih langsung mengubah hubungan kepemilikan tanah dalam area tertentu.

Bank tanah memungkinkan pemerintah pusat atau daerah memperoleh dan menghimpun tanah untuk tujuan strategis jangka pendek dan jangka panjang. Pemerintah pusat dan daerah pun dapat benar-benar memindahkan properti dari pasar untuk merespon ketidakmampuan pasar real estate berfungsi secara efisien. Dengan demikian, bank tanah dapat mengurangi biaya eksternal dari properti yang terlantar dan ditinggalkan sekaligus menciptakan kestabilan lingkungan dan masyarakat.

Bank tanah dapat mengendalikan harga melalui panitia penaksir harga tanah. Penjualan tanah dapat pula dilakukan oleh lembaga bank tanah dengan mengacu pada harga tanah saat ini dalam arti tidak mengejar keuntungan. Selain itu, bank tanah dapat meminimalisasi masalah spekulasi tanah yang menyebabkan harga tanah terus melonjak, bank tanah juga akan menumbuhkan persaingan sehat di kalangan pengembang, sehingga penyediaan tanah untuk keperluan sosial dan berbasis masyarakat menengah ke bawah dapat direalisasikan.

Urgensi lembaga bank tanah adalah menjamin penyediaan tanah untuk pembangunan berkelanjutan, mengendalikan pemanfaatan tanah secara efisien dan efektif, serta mengendalikan penguasaan dan pemilikan tanah. Bank tanah sebagai suatu alternatif penyediaan tanah sangat diperlukan. Adapun konsep lembaga bank tanah di Indonesia harus berbasis pada hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional dengan berdasar pada asas-asas hukumnya, ditunjang dengan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup dan sesuai pula dengan karaterisitik dan geografis pertanahan Indonesia.

Dalam konteks Indonesia, banyak manfaat yang diperoleh dari kehadiran bank tanah, antara lain: pertama, selalu tersedianya lahan untuk pembangunan sehingga rencana pembangunan oleh pemerintah maupun swasta tidak terhambat. Kedua, ketersediaan tanah sepanjang waktu untuk keperluan pembangunan akan menarik investor. Investor yang sudah mengeluarkan investasi awal pun tidak mengalami kerugian akibat berlarut-larutnya proses pembebasan lahan.

Ketiga, adanya efisiensi. Selama ini, kegiatan pembebasan tanah kerap bermasalah dan memakan waktu lama karena persoalan ganti-rugi. Harga tanah di sebuah kawasan melonjak drastis setiap ada rencana pembebasan tanah. Sebab, proyek pembangunan akan menciptakan kawasan ekonomi baru yang mendorong rakyat pemegang hak atas tanah mematok nilai ganti-rugi yang tinggi. Dengan adanya bank tanah, pemerintah bisa menghemat uang negara dalam jumlah yang relatif besar. Tanah koleksi pemerintah juga bisa dipakai untuk pemukiman kembali sebagai ganti rugi atas tanah yang diambil pemerintah untuk kepentingan umum atau pun kawasan industri.

Bank tanah juga bisa menjaga stabilitas harga tanah. Harga tanah di sebuah kawasan biasanya langsung melonjak ketika pemerintah berencana membebaskan lahan. Sebab, rencana proyek pemerintah akan diikuti pembangunan infrastruktur penunjang dan terbangunnya sebuah kawasan bisnis baru. Dengan adanya bank tanah, kebutuhan akan tanah yang luas dari pemerintah baik pusat maupun daerah tidak menimbulkan lonjakan harga tanah.

Bila dicermati konsepsi dan manfaat dari bank tanah sebagaimana telah diuraikan jelas bahwa penting bagi pemerintah baik pusat maupun daerah untuk segera membentuk kelembagaan bank tanah. Keberadaan lembaga ini menjadi jaminan keberlanjutan pelaksanaan pembangunan di masa mendatang. Bank tanah menjamin ketersediaan tanah sebagai wadah dari kegiatan pembangunan itu sendiri.

Referensi
Bernhard Limbong, Bank Tanah bagi Pembangunan (Artikel), Suara Pembaruan, Edisi, 30 Juli 2012
Bernhard Limbong, Bank Tanah, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012.
Diana A. Silva, Land Banking As A Tool For The Economic Redevelopment Of Older Industrial Cities, Drexel Law Review, Vol. 3, Mei 2011.
Enders, M. J., The Problem of Land Banking: A French Solution, Environment and Planning C: Government and Policy 4 (1):1-17, 1986
Frank S. Alexander, Land Banking As Metropolitan Policy, Brookings Institution Metropolitan Policy Program, 2008
Karen Heisler, Alternative Land Tenure And The Social Economy, Literature Review, Canadian Centre for Community Renewal (CCCR) on behalf of the B.C.Alberta Social Economy Research Alliance, 2009
Lance Thurston, Commissioner at Department of Community Services, Information Report To Council, Land banking, City of Kingston, Canada, Report No.: 04-259, Agustus 2004
Maria Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, antara Regulasi dan Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2009
Strong, A. L., Land Banking European Reality, American Prospect, John Hopkins University Press, Baltimore, 1979
Thomas J. Fitzpatrick IV, How Modern Land Banking Can Be Used to Solve REO Acquisition Problems dalam Lisa Nelson (ed.), REO and Vacant Properties: Strategies for Neighborhood Stabilization, Federal Reserve Banks of Boston and Cleveland and the Federal Reserve Board, 2010
Van Dijk, T. dan D. Kopeva, Land Banking And Central Europe: Future Relevance, Current Initiatives, Western European Past Experience, Land Use Policy, 23, 3, 286-301, 2006

Comments

Popular posts from this blog

Penyusunan Hukum Agraria Nasional

Konsepsi Ekonomi Kerakyatan