Hukum Agraria Kolonial






Secara historis, ketentuan hukum agraria pada masa kolonial mulai dijalankan sejak berdiri dan berkuasanya VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie) hingga masa penjajahan Jepang. Pada masa VOC terdapat sejumlah kebijakan di bidang pertanian yang ujung-ujungnya menindas rakyat Indonesia.

Kebijakan yang dimaksud, meliputi: pertama, contingenten, dengan ketentuan bahwa pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.

Kedua, verplichte leveranten, suatu ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan. Dan, ketiga, roerendiensten, yakni kebijakan mengenai kerja rodi yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.

Setelah kekuasaan VOC berakhir terjadi perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah.  Hal ini terjadi karena tanah adanya kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Hindia Belanda melalui Gubernur Herman Willem Daendles (1800-1811). Kebijakan yang dikeluarkan oleh Daendles adalah menjual tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri sehingga muncullah istilah tanah partikelir. Tanah partikelir merupakan tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa yakni adanya hak-hak pada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan.

Pemerintahan kemudian beralih ke Gubernur Thomas Stanford Raffles pada tahun 1811. Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan pemerintah dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pajak tanah atau lebih dikenal dengan kebijakan Landrent.

Kebijakan ini berangkat dari hasil penelitian Rafles mengenai pemilikan tanah-tanah di daerah swapraja di Jawa. Dia menemukan bahwa semua tanah adalah milik raja, sedangkan rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya.

Karena kekuasaan telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dengan sendirinya beralih pula kepada Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainkan milik Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja mereka sendiri.

Pada tahun 1830, pemerintahan Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Johanes van den Bosch. Bosch menetapkan kebijakan agraria yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional pada waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun. Bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.

Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan pertanian besar. Disamping pada dasarnya para penguasa itu tidak mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yang biasa disewa adalah tanah-tanah negara nyang masih kosong.

Kebijakan hukum di bidang agraria di zaman Hindia Belanda yang masih dirasakan sampai sekarang pengaruhnya adalah diberlakukannya Agrarische Wet (AW). AW ini merupakan undang-undang di negeri Belanda, yang diterbitkan pada tahun 1870. Pemberlakuan AW di Indonesia disinyalisasi sebagai respon terhadap keinginan perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia.

Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan pengusaha di negeri Belanda yang karena keberhasilan usahanya mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tanah hutan di Jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk diberikannya kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar. Terlihat jelas bahwa diberlakukannya AW bertujuan untuk membuka kemungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda.


Selain itu, AW juga bertujuan untuk: pertama, memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yang berjangka waktu lama, sampai 75 tahun dan mengizinkan para pengusaha untuk menyewakan tanah adat/rakyat. Kedua, memperhatikan kepentingan rakyat asli dengan melindungi hak-hak tanah rakyat asli dan memberikan kepada rakyat asli hak tanah baru (Agrarische Eigendom).

Tujuan adanya Agrarische eigendom sebetulnya untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang kuat, yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan hipotek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak miliknya dengan menjadi agrarische eigendom tidak banyak dipergunakan.

Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan dan keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit (AB). Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit.

AB hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut, yang dikenal sebagai Domein Verklaring (Pernyataan Domein) semula juga berlaku untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura.

Maksud dari adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan ketegasan sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa satu-satunya penguasa yang berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada pihak lain adalah Pemerintah. Dengan adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindia Belanda dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya tidak ada hak penduduk bumi putera; 2) tanah negara tidak bebas, yaitu tanah yang di atasnya ada hak penduduk maupun desa.

Dalam praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni: pertama, sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat memberikan tanah dengan hak-hak barat, misalnya hak eigendom, hak opstal, dan hak erfacht. Kedua, untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara, maka negara tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah, tetapi pihak lainlah yang wajib membuktikan haknya.

Untuk diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah berdasarkan hukum adat, sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan hukum yang sama dengan Pasal 570 BW, maka dengan sekaligus semua tanah dari rakyat Indonesia termasuk menjadi tanah negara (domein negara). Yang tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda, meliputi: a) tanah-tanah daerah swapraja; b) tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain; c) tanah-tanah partikulir; dan d) tanah-tanah eigendom agraria.

Selain AW, KUHPerdata yang berlaku di Indonesia merupakan KUHPerdata yang berlaku di Belanda, dengan beberapa perubahan diberlakukan di Indonesia, berdasarkan asas konkordansi. Perihal peraturan hukum yang mengatur tentang hukum agraria dalam KUHPerdata adalah Buku II KUHPerdata selama menyangkut tentang bumi, air dan ruang angkasa. Dalam buku II KUHPerdata tersebut terdapat beberapa jenis hak atas tanah barat yang dikenal yaitu tanah eigendom, tanah hak opstal, tanah hak erfacht, dan Tanah hak gebruis.

Disamping hak atas tanah barat tersebut di atas, juga ada tanah-tanah dengan hak Indonesia, seperti tanah-tanah dengan hak adat, yang disebut tanah hak adat. Ada pula tanah-tanah dengan hak ciptaan pemerintah Hindia Belanda seperti agrarische eigendom, landerijn bezitrecht. Juga dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja, seperti grant sultan. Tanah-tanah dengan hak-hak adat dan hak-hak ciptaan pemerintah Hindia Belanda dan swapraja tersebut, bisa disebut tanah-tanah hak Indonesia, yang cakupannya lebih luas dari tanah-tanah hak adat.

Tanah-tanah hak barat dapat dikatakan hampir semuanya terdaftar pada Kantor Overschrijvings Ambtenar menurut Overschrijvings Ordonantie Staad 1834-1827 dan dipetakan oleh Kantor Kadaster menurut peraturan-peraturan kadaster. Tanah hak barat ini tunduk pada hukum tanah barat. Artinya hak-hak dan kewajiban pemegang haknya, persyaratan bagi pemegang haknya, hal-hal mengenai tanah yang dihaki, serta perolehannya, pembebanannya diatur menurut ketentuan-ketentuan hukum tanah barat.

Tanah-tanah hak adat hampir semuanya belum didaftar. Tanah-tanah itu tunduk pada hukum adat yang tidak tertulis. Tanah-tanah hak adat, yang terdiri atas apa yang disebut tanah ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat dan tanah perorangan, seperti hak milik adat, merupakan sebagian terbesar ranah Hindi Belanda. Untuk tanah-tanah hak ciptaan pemerintah swapraja, di daerah-daerah swpraja Sumatera Timur dipunyai dengan hak-hak ciptaan pemerintah swapraja.

Selanjutnya, pada masa Penjajahan Jepang, kebijaksanaan pemanfaatan tanah dan penguasaan tanah tidak tertib akibat kekacauaan di bidang pemerintahan. Selain itu, tujuan utama dari kebijakan di bidang agraria adalah untuk menunjang kepentingan Jepang. 

Pada masa itu juga mulai terjadi akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar dan usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda serta terjadi kerusakan fisik tanah karena politik bumi hangus dan penggunaan tanah melampaui batas kemampuannya. Pada masa penjajahan Jepang ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak.

Comments

Popular posts from this blog

Penyusunan Hukum Agraria Nasional

Konsepsi Ekonomi Kerakyatan