Menyelesaikan Perselisihan Honorarium Advokat






Ada dua alasan mendasar terjadinya perselisihan antara advokat dengan kliennya dalam hal honorarium advokat, yakni: pertama, klien sudah membayar penuh atau sebagian honorarium sementara advokat tidak menangani kasus secara wajar dan terkesan mengabaikan kewajibannya. Kedua, advokat sudah menangani kasus dengan baik, tetapi klien mengabaikan kewajibannya untuk membayar honorarium advokat atau hanya membayar sebagian dari honorarium yang sudah disepakati.

Kedua hal tersebut tentu saja menodai hubungan advokat dengan klien yang didasarkan pada kepercayaan. Namun, hubungan kepercayaan itu bisa diperbaiki dan dibangun lagi mengandaikan kedua belah pihak saling terbuka. Keterbukaan akan membantu kedua belah pihak dapat menyelesaikan perselisihan honorarium tersebut. Sebagai suatu hubungan yang didasarkan pada kepercayaan, maka seyogianya juga segala hal yang terkait dengan hubungan kepercayaan diselesaikan sendiri antara advokat dengan klien tanpa melibatkan pihak lain.

Masalah lain bahwa adakalanya klien memutuskan atau mencabut surat kuasa secara sepihak tanpa memberikan alasan pencabutan kuasa (meskipun pada prinsipnya pemberi kuasa berhak untuk mencabut kuasa). Kendalanya terkadang hak-hak dan kewajiban yang terkait dengan pencabutan kuasa itu diabaikan. Dalam arti, kuasa dicabut namun tidak disertai, diikuti atau ditindaklanjuti dengan pembayaran honorarium advokat. Sementara itu, pihak klien tentu memiliki alasan yang kuat untuk mencabut kuasa yakni pertimbangan mengenai honorarium yang begitu besar dibayarkan kepada advokat.

Bila dirunut dari adanya kuasa, memang akar permasalahan adalah acapkali tidak dicantumkannya klausul mengenai penyelesaian perselisihan honorarium dalam perjanjian kerja sama antara klien dan advokat. Honorarium dibicarakan secara lisan antara advokat dengan kliennya. Padahal satu-satunya yang menjadi landasan hubungan advokat dengan klien adalah surat kuasa itu sendiri yang seharusnya soal honorarium dicantumkan juga dalam bentuk persetujuan lawyer fee.

Dalam hal terjadi perselisihan mengenai honorarium yang tidak diatur dalam kontrak, maka diutamakan penyelesaiannya melalui jalur perdamaian. Hal ini dianjurkan dalam Kode Etik Advokat (KEA) meskipun dalam KEA sendiri tidak diatur mengenai tata cara penyelesaian sengketa honorarium.

Memang sebagai antisipasi terhadap kemungkinan di mana klien tidak membayar honorarium advokat, kode etik sudah mengatur mengenai hak retensi advokat, yaitu hak untuk menahan dokumen dari klien bila tidak atau belum membayar honorarium advokat secara penuh. Selama klien belum membayar honorarium advokat, selama itu pula advokat berhak untuk menahan dokumen dari klien. Pengembalian dokumen akan dilaksanakan apabila klien sudah melunasi seluruh honorarium dan advokat.

Menilik pada hakikat dari profesi advokat bahwa mendapatkan honorarium adalah perlu tetapi bukan sebagai tujuan utama. Oleh karena itu, bila terjadi sengketa mengenai honorarium sebaiknya menghindari penyelesaian lewat hukum di pengadilan. Secara hukum memang perbuatan klien yang tidak membayar honorarium dapat digugat oleh advokat lewat pengadilan. Namun, akan bertolak belakang dengan hakikat profesi advokat sebagai terhormat, bila perselisihan honorarium dengan klien harus diselesaikan lewat pengadilan. 

Perlu dipahami oleh advokat bahwa penghargaan terhadap jasanya tidak harus dan tidak hanya dapat dinilai dengan uang. Sebagai profesi mulia, advokat hendaknya tidak melihat pembayaran sebagai ukuran dari segalanya. Menyengketakan honorarium dengan kliennya, menunjukkan pengingkaran terhadap hakikat dari advokat sebagai profesi mulia.

Dalam hal klien tidak bersedia membayar honorarium advokat, organisasi advokat dapat membuat daftar tentang siapa saja klien yang pernah mengabaikan honorarium advokat. Karena itu, apabila klien bersangkutan tersebut suatu saat nanti kembali membutuhkan jasa advokat, tindakannya yang tidak mau membayar honorarium dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam menangani perkaranya. Klien yang sudah pernah mengabaikan hak advokatnya perlu diberi catatan khusus. Bila suatu saat klien seperti itu membutuhkan jasa, maka bisa diterapkan prinsip tidak ada pembayaran penuh tidak ada penanganan kasus.

Akan tetapi, klien juga berhak untuk mengadukan advokat yang sudah dibayar tapi tidak melakukan upaya terbaik untuk membela kepentingannya. Klien dapat menuntut advokat baik secara perdata maupun pidana. Pada dasarnya, advokat yang melanggar kode etik dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat luas, pasti mendapat tindakan dari organisasi profesinya. Sebuah kewajiban bagi advokat adalah memberikan perlindungan yang lebih memadai terhadap klien sebagai pengguna jasa hukum (konsumen) dari advokat.

Secara normatif, bila advokat melakukan pelanggaran terhadap KEA dan UU advokat, maka ada beberapa jenis sanksi/tindakan yang diberikan, yakni: teguran lisan; teguran tertulis; pemberhentian sementara dari profesinya; dan pemberhentian tetap dari profesi advokat.

Kewajiban Honorarium Secara Pro Bono
Umumnya, rakyat yang miskin kurang paham dengan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya berhadapan dengan hukum. Ketika ada persoalan hukum menimpa mereka, seringkali mereka pasrah karena tidak tahu apa yang perlu dilakukan. Kemiskinan sering menjadi halangan untuk mendapatkan jasa penasihat hukum. Rakyat yang miskin seringkali sulit mendapat akses untuk mendapatkan bantuan hukum dan keadilan.

Secara kasat mata, hanya kaum yang mampu secara ekonomis yang memiliki akses untuk mendapat hukum dan keadilan terutama karena mereka bisa membayar tarif atas jasa hukum. Namun, idealnya baik kaum berada maupun kaum miskin sama-sama memiliki kesempatan untuk mendapatkan jasa hukum dan keadilan sebagaimana sudah diatur dalam UU Advokat Pasal 22 Ayat (1).  Di sana disebutkan bahwa Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. 

Sehingga, kalangan yang tidak mampu pun memiliki kesempatan untuk mendapatkan keadilan lewat proses hukum yang ditangani advokat. Klien yang tidak mampu pun tidak perlu membayar honorarium advokat untuk jasa hukum yang mereka dapatkan. Dengan demikian, pemberian jasa hukum secara pro bono merupakan sebuah kewajiban yang tidak dapat diabaikan oleh advokat.

Sebagai profesi yang terhormat, adalah suatu bentuk tanggung jawab bagi advokat untuk memberikan jasa hukum secara gratis (pro bono) kepada pihak-pihak yang tidak mampu. Seyogyanya, advokat memberikan jasa tanpa memperhatikan seberapa besar honor yang akan ia terima tetapi selalu menjunjung humanitas dalam nilai-nilai keadilan, moralitas dan nilai-nilai yang mulia lainnya. Advokat harus terlibat dalam menyelesaikan kasus dari pihak-pihak yang kurang beruntung secara ekonomis dalam bentuk pemberian jasa hukum tanpa memungut bayaran. Pemberian jasa secara pro bono seharusnya menjadi sebuah komitmen advokat terhadap etika advokat.


Referensi
Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan Pemerintah Nomor 83 tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata cara Pemberian Bantuan secara Cuma-Cuma
Kode Etik Advokat Indonesia
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
Nadapdap, Binoto, SH, MH. 2008. Menjajaki Seluk-Beluk Honorarium Advokat, Jala Permata, Jakarta
Ary Yusuf Amir, Strategi Bisnis Jasa Advokat, Navila Idea, Yogyakarta, 2010
Yudha Pandu, Klien & Penasehat Hukum dalam Perspektif Masa Kini, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2001
Asfinawati, Pengaduan dalam Panduan Bantuan Hukum Di Indonesia. YLBHI, Jakarta, 2009


Comments

Popular posts from this blog

Penyusunan Hukum Agraria Nasional

Konsepsi Ekonomi Kerakyatan