Menegosiasi Honor/Fee Advokat
Advokat merupakan sebuah profesi. Karenanya, advokat menjalankan tugas secara profesional. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada tiga unsur yang selalu menjelaskan profesional, yakni: 1) bersangkutan dengan profesi; 2) memerlukan keahlian khusus untuk menjalankannya; dan 3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Kesemua unsur tersebut ada dalam diri seorang advokat.
Berkaitan dengan unsur yang ketiga, advokat sebagai seorang profesional tentu berhak mendapatkan imbalan atas jasa hukum yang diberikannya. Hak untuk mendapat imbalan ini dikarenakan alasan berikut.
Pertama, advokat sebagai seorang manusia tentu memiliki kebutuhan hidup dan bertanggung jawab, baik atas dirinya maupun atas keluarganya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tentu saja advokat bekerja dengan menawarkan jasa hukumnya. Suatu kepatutan bahwa orang yang telah melakukan pekerjaan mendapatkan imbalan dalam rupa gaji, honorarium, bonus, komisi, dan bentuk-bentuk lainnya.
Kedua, sebagai seorang profesional, tentu saja advokat banyak berkorban ketika menjalankan profesinya. Pengorbanan seorang advokat adalah dalam bentuk dana, waktu, dan pikiran (keahlian). Untuk mendapatkan keahlian di bidang hukum, tentu banyak biaya yang telah ia keluarkan; dan dalam menangani suatu kasus, keahliannya telah banyak diserap. Waktunya pun banyak ia korbankan. Sehingga honor atau fee yang ia dapatkan merupakan suatu bentuk penghargaan atas ilmu dan keahlian yang ia miliki.
Merujuk pada dua alasan tersebut, suatu kepatutan juga bagi klien untuk memberi imbalan terhadap jasa perlindungan hukum dan pendampingan hukum dari advokat. Pertanyaannya, seberapa besar pembayaran yang dilakukan klien terhadap advokat? Besarnya honor advokat tentu saja berdasarkan kesepakatan antara keduanya.
Dasar Hukum Honor Advokat
Penting untuk diketahui bahwa advokat tidak boleh menetapkan honor atas jasa hukum yang ia berikan secara sepihak. Mengenai adanya honor untuk jasa dan advokat telah diatur secara normatif. Dalam Pasal 1 Ayat (7) UU Advokat juncto Pasal 1 poin (f) Kode Etik Advokat disebutkan bahwa imbalan jasa hukum yang diterima harus berdasarkan kesepakatan dengan klien.
Selanjutnya, dalam Pasal 21 Ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 digariskan bahwa advokat berhak untuk menerima honorarium atas jasa hukum yang telah diberikan kepada klien. Sedangkan, mengenai besarnya honorarium itu harus ditetapkan secara wajar berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (Pasal 21 ayat (2) UU Advokat). Kemudian dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (2) dijabarkan bahwa yang dimaksud “secara wajar” adalah dengan memperhatikan risiko, waktu, kemampuan dan kepentingan klien.
Sehubungan dengan ketentuan tersebut, maka hal penting yang harus dibicarakan sebelum memutuskan untuk menggunakan jasa advokat atau penasihat hukum adalah mengenai honor atau fee. Hal ini penting karena tidak adanya standarisasi baku yang mengatur tentang minimal dan maksimal jumlah bayaran jasa advokat. Dengan demikian, honorarium atas jasa yang diberikan menurut kantor advokat bersangkutan pantas.
Aspek Kewajaran Honorarium Advokat
Seorang advokat wajib menentukan honorariumnya secara wajar berpatokan pada ketentuan yang ada. Penentuan secara wajar itu sendiri merupakan hasil kesepakatan antara klien dan advokat dengan memperhatikan risiko, waktu, kemampuan, dan kepentingan klien. Konsekuensinya adalah advokat tidak dapat membuat perjanjian dengan klien yang isinya menyebabkan advokat secara tidak wajar mengurangi atau membatasi pemberian jasa kepada klien atau perjanjian tersebut bertentangan dengan kepentingan klien karena memperhatikan honorarium yang akan ia terima.
Selain itu, seorang advokat tidak boleh mengeksploitasi pembayaran honorarium dengan mempergunakan cara-cara yang tidak wajar. Advokat seyogyanya menawarkan kepada klien alternatif untuk honorarium dan menjelaskan apa pengaruhnya. Mengenai hal ini bisa dikaitkan dengan UU Perlindungan Konsumen (UU No. 8 tahun 1999).
Dalam UU tersebut dijabarkan hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha. Sebagai konsumen, klien berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan (Pasal 4 huruf (d)). Sedangkan kewajiban advokat, pelaku usaha dalam hal ini jasa adalah memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan (Pasal 7 huruf (b)) dan memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan (Pasal 7 huruf (e)).
Di samping itu, seorang advokat tidak boleh mendapatkan hak kepemilikan yang disebabkan oleh pemakaian jasanya baik itu dalam proses litigasi maupun non litigasi. Seorang advokat hanya bisa mendapatkan sebuah penggantian yang dijamin oleh hukum untuk menyelamatkan penggantian honorarium atau pengeluaran advokat; dan membuat kesepakatan dengan klien untuk honorarium yang masuk akal.
Sekadar perbandingan, menurut Asosiasi Advokat Amerika, faktor-faktor yang menentukan kewajaran seorang advokat dalam menentukan honor advokat adalah sebagai berikut:
· Waktu dan tenaga yang dibutuhkan, kebaruan kesulitan yang terkait dengan penanganan kasus kemampuan yang dibutuhkan untuk memberikan ia hukum secara layak kepada klien.
· Kesamaan, jika itu terjadi terhadap klien bahwa penerimaan dan pekerjaan khusus akan menjadikan advokat tidak dapat mengerjakan pekerjaan yang lain.
· Tarif umum yang berlaku di suatu lokasi untuk jasa hukum yang sama
· Jumlah yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh
· Keterbatasan waktu yang disebabkan oleh klien atau keadaan
· Sifat alamiah dan lamanya hubungan profesional dengan klien
· Pengalaman, reputasi dan kemampuan dan advokat atau para advokat di dalam memberikan jasa advokat.
· Apakah honorarium bersifat tetap atau kontinjen. Bila memakai sistem honorarium secara kontinjen maka harus dibuat secara tertulis dan harus menyebutkan dengan cara mana honorarium ditentukan. Honorarium secara kontinjen ini dilarang dalam penanganan perkara perceraian, pengasuhan atau penyelesaian sengketa properti serta dalam perkara kriminal.
· Bila tidak secara teratur mewakili klien advokat harus mengkomunikasikan besarnya honorarium kepada advokat.
· Bila menggunakan jasa advokat dari dua kantor advokat yang berbeda, maka pembagian harus secara proporsional atau sesuai dengan persetujuan tertulis dengan klien.
Beban Biaya yang Menjadi Tanggungan Klien
Ketika kita menggunakan jasa advokat untuk menangani suatu perkara, ada beberapa bentuk tagihan yang harus dipersiapkan. Biasanya komponen tagihan itu dimuat dalam perjanjian kerja dengan advokat. Adapun komponen tagihan tersebut antara lain:
1. Consultancy fee, yaitu beban biaya dalam mempelajari dan pemeriksaan berkas perkara (legal audit) dan pembuatan pendapat hukum (legal opinion), serta kegiatan lainnya yang masih terkait dengan jasa konsultatif dalam suatu perkara tertentu. Jika perkara diteruskan dalam proses litigasi, biasanya digabungkan ke dalam lawyer fee.
2. Lawyer fee (honorarium), yaitu imbalan jasa profesional dalam pengurusan suatu perkara guna memberikan pelayanan hukum. Besar lawyer fee dalam praktiknya sesuai dengan kesepakatan antara advokat dengan klien. Lawyer fee ini biasanya dibayar setelah surat pemberian kuasa ditandatangani. Hal yang prinsipal terkait lawyer fee ini adalah bahwa: menang atau kalah dalam suatu penanganan perkara, klien tetap membayar advokat sebagai imbalan atas jasa profesional advokat. Penetapan lawyer fee ini didasarkan pada kesepakatan antara advokat dengan klien. Untuk perkara perdata, acuannya adalah besar nominal yang dipersengketakan klien. Sedangkan, untuk perkara pidana, acuannya adalah faktor kesulitan dan profil klien.
3. Operational fee, yakni biaya operasional yang dipakai untuk menjalankan kuasa hukum bagi kepentingan klien baik di luar maupun di dalam pengadilan. Biaya transportasi, biaya akomodasi, biaya meterai, biaya formulir, biaya untuk memperoleh surat-surat dari pihak yang berwenang, dan biaya untuk profesi bidang lain yang mendukung tindakan hukum yang dilakukan seperti notaris, akuntan, dan lain sebagainya. Biasanya biaya operasional ini dimunculkan dalam kontrak ketika klien merasa bahwa permintaan jasa hukum atas perkaranya membutuhkan pelayanan yang memiliki mobilitas tinggi di berbagai tempat, waktu dan peristiwa.
4. Success fee, yakni imbalan jasa profesional atas keberhasilan advokat dalam menjalankan kuasa atas nama klien baik di luar pengadilan maupun jasa pembelaan dan pendampingan dalam pengadilan. Imbalan jasa ini dalam praktiknya, diterima oleh advokat setelah penanganan perkara dinyatakan berhasil dan selesai. Tentu saja dalam proses litigasi, success fee ini diterima oleh advokat ketika putusan tetap dari pengadilan telah diterima.
Referensi
Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 18
tahun 2003 tentang Advokat
Undang-Undang Nomor 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan Pemerintah Nomor 83
tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata cara Pemberian Bantuan secara Cuma-Cuma
Kode Etik Advokat Indonesia
Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006
Nadapdap, Binoto, SH, MH.
2008. Menjajaki Seluk-Beluk Honorarium Advokat, Jala Permata, Jakarta
Ary Yusuf Amir, Strategi
Bisnis Jasa Advokat, Navila Idea, Yogyakarta, 2010
Yudha Pandu, Klien
& Penasehat Hukum dalam Perspektif Masa Kini, Indonesia Legal
Center Publishing, Jakarta, 2001
Asfinawati, Pengaduan dalam Panduan
Bantuan Hukum Di Indonesia. YLBHI, Jakarta, 2009

Comments
Post a Comment