UU Kompensasi Pengadaan Tanah
Konflik pertanahan terutama dalam
pengadaan tanah bagi pembangunan telah menjadi salah satu persoalan pelik yang
melanda negeri kita ini. Malahan, kian tahun persoalan yang menyangkut
pertanahan ini kian meningkat dan jauh dari harapan akan surut. Sebenarnya,
konflik pertanahan dapat mereda sepanjang hak-hak rakyat/warga pemilik tanah
terpenuhi dan diakomodasi oleh negara.
Hal ini terkait setiap konflik pertanahan
yang terjadi selama ini selalu dipicu oleh upaya rakyat pemilik tanah
memperjuangkan hak-hak mereka terutama untuk mendapat kompensasi yang adil.
Regulasi yang ada selama ini sepertinya
hanya mengakomodasi kepentingan pemerintah dan melegitimasi pengambilan tanah
rakyat tanpa diimbangi kompensasi yang layak dan adil. Tidak mengherankan bila
terjadi gap antara pemerintah selaku pihak yang membutuhkan tanah dengan rakyat
pemilik tanah. Posisi rakyat seolah-olah berada dalam posisi subordinat
dari pemerintah. Kepentingan rakyat diabaikan demi memberi prioritas bagi
kepentingan pemerintah (umum). Sejatinya, baik pemerintah dan rakyat sama-sama
berada pada posisi yang setara, pemerintah membutuhkan tanah untuk pembangunan
sedangkan rakyat merelakan tanahnya diambil untuk kepentingan pembangunan.
Selama
ini pemerintah sebagai pihak yang membutuhkan tanah selalu berlindung di balik
konsep hak menguasai negara, fungsi sosial tanah, untuk kepentingan
pembangunan, dan untuk kepentingan umum dalam mengambil tanah rakyat.
Karenanya, pemerintah pun mengeluarkan produk hukum yang bermuara pada upaya
legitimasi pengambilan tanah rakyat. Negara sepertinya tidak mau tahu dengan
hak-hak rakyat selaku pemilik tanah yang harus dipenuhi. Padahal, negara kita
ini adalah negara hukum dan menganut paham negara kesejahteraan sebagaimana
termaktub dalam Pancasila dan Konstitusi (UUD 1945).
Negara telah salah kaprah dalam menerapkan
konsep hak menguasai negara dan fungsi sosial tanah. Negara tidak proporsional
menerapkan konsep tersebut dalam mana mengabaikan HAM dan kesejahteraan dari
rakyat pemilik tanah. Pancasila dan Konstitusi kita dengan jelas memberikan
pengakuan terhadap HAM termasuk di antaranya hak milik, hak untuk memperoleh
kehidupan yang layak, dan keadilan dirasakan oleh setiap warga negara.
Mengabaikan HAM dan kesejahteraan rakyat pemilik tanah juga merupakan upaya
pencideraan terhadap paham negara hukum dan negara kesejahteraan yang dianut
negara kita ini.
Dalam prinsip hak Menguasai dari negara,
negara justru menerima kuasa dari masyarakat untuk mengatur tentang
peruntukkan, persediaan, dan penggunaan tanah serta hubungan dan perbuatan
hukum yang bersangkutan dengan tanah. Dengan demikian, segala perbuatan negara,
dalam hal ini pemerintah, harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Selain itu, penerapan dari fungsi sosial
tanah ini tidak serta merta mengabaikan hak-hak masyarakat pemilik tanah. Dalam
UUPA dengan jelas jabarkan bahwa pencabutan hak atas tanah demi kepentingan
umum dapat dilakukan dengan memberi kompensasi yang layak. Artinya, masyarakat
yang memberikan tanahnya untuk kepentingan umum harus mendapatkan kompensasi
yang layak dan adil, bukan proses pemiskinan.
Sebagai
negara hukum, negara kita tentu saja mengakui prinsip supremasi hukum dan
konstitusi, pengakuan terhadap hak asasi manusia, adanya prinsip keadilan yang
menyatakan semua orang sama di depan hukum (equity before the law), dan
adanya jaminan keadilan bagi setiap orang. Supremasi hukumnya pun harus
menjamin bahwa HAM dijunjung tinggi dan dilindungi oleh hukum. Dengan menganut
paham negara kesejahteraan, negara seharusnya aktif mengupayakan kesejahteraan,
bertindak adil yang dapat dirasakan seluruh masyarakat secara merata dan
seimbang, bukan menyejahterakan golongan tertentu, namun seluruh rakyat.
Mengacu pada paham negara hukum (rechstaats)
dan negara kesejahteraan (welfare state), Indonesia seharusnya
menjadikan ideologi Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan konsep dan
kebijakan hukum dasar bagi strategi perlindungan hukum terhadap pemegang hak
atas tanah dalam pembangunan untuk kepentingan umum. Tujuan Negara Indonesia
adalah kesejahteraan (welfare state) dan kesejahteraan dapat dinikmati
jika keadilan sudah diperoleh. Lagipula, hukum bertujuan untuk mendapatkan
keadilan yang berujung pada kesejahteraan. Dengan demikian, keadilan sosial dan
kemakmuran bagi seluruh rakyat ditempatkan pada posisi sentral-substansial.
Hak
asasi, keadilan, dan kesejahteraan harus teraktualisasi secara tepat dan
seimbang dalam berbagai peraturan pertanahan karena merupakan nilai-nilai
Pancasila (fundamental values) dan konstitusi kita. Sehubungan
dengan itu, adalah suatu kemendesakan bagi pemerintah untuk menerbitkan
Undang-Undang Kompensasi. Bahkan UU Kompensasi ini seharusnya lebih
diprioritaskan daripada UU Pengadaan Tanah yang yang telah diundangkan sejak
tahun 2012. Hal ini terkait UU Kompensasi fokus pada kesejahteraan rakyat
sedangkan UU Pengadaan Tanah lebih berorientasi pada pemerintah yang memerlukan
tanah (meskipun demi terealisasinya pembangunan untuk kepentingan umum:
ekspektasinya).
Kemendesakan
diterbitkannya UU Kompensasi telah diamanatkan dalam UUPA dan terutama karena
menyangkut hajat hidup orang banyak yakni mengakomodasi hak-hak individu dan
sosial budaya pemegang hak atas tanah, seperti hak hidup, hak milik, hak
memperoleh kehidupan yang lebih layak, dan hak memperoleh pekerjaan,
terjaminnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Selain bersifat
substansial, cakupan kompensasi juga sangat luas, yakni meliputi bentuk
kompensasi, dasar perhitungan kompensasi, besaran kompensasi, alokasi dana
kompensasi, dan penitipan kompensasi di Pengadilan Negeri.
Terbitnya UU Kompensasi tentu memungkinkan
tereduksinya konflik pertanahan dalam pengadaan tanah untuk pembangunan. Dengan
terakomodasinya hak-hak pemilik tanah dapat dipastikan bahwa pembangunan untuk
kepentingan umum terealisasi karena tentu saja rakyat tidak enggan untuk
memberikan tanahnya. Selain itu, adanya UU Kompensasi mampu memberangus
kesenjangan antara pemerintah dengan rakyat pemilik tanah. Baik pemerintah
maupun rakyat pemilik tanah berada dalam posisi yang setara. Keadilan yang
dulunya hanya sebagai utopia, kini dapat dirasakan oleh rakyat pemilik tanah.
Pada gilirannya, rakyat pemilik hak atas tanah hidup layak dan sejahtera. Ius est Iustum.

Comments
Post a Comment