Vuelta Al Campo



“Kembali ke desa”, demikianlah bila judul di atas diterjemahkan. Vuelta al Campo merupakan salah satu program yang dicanangkan Hugo Chavez di Venezuela tatkala dia menjadi Presiden. Entah kebetulan atau tidak, program tersebut mirip dengan program dari pemerintahan Jokowi.

Saat ini, pemerintah juga telah mencanangkan program “membangun dari pinggiran” yang menjadi salah satu program Nawacita. Implementasi dari program membangun dari pinggiran, selain membangun daerah-daerah perbatasan juga membangun dari desa. Gelontoran dana untuk desa dari APBN pun semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Membangun dari desa berarti kembali ke desa. Pembangunan harus dimulai dari desa. Dalam konteks ini berarti, 74.000 desa di negeri ini menjadi subjek pembangunan sehingga dapat terangkat dari kubang kemiskinan permanen. Kita, atau sebagian besar dari kita, berasal dan berangkat dari desa.

Saat ini, segala sesuatu mengenai desa telah diatur dengan UU Desa. UU Desa diharapkan menjadi pintu masuk dengan memperkuat desa. Itu artinya, UU Desa tak sekadar mengatur status aparat dan kewenangan pejabat desa serta anggaran desa dari APBN.

Lebih dari itu, UU Desa mengatur secara tegas penggunaan, pemanfaatan sumber-sumber agraria. Kewenangan pusat yang didelegasikan ke daerah untuk mengatur tata-ruang dan distribusi tanah sudah saatnya diturunkan ke tingkat desa, setidaknya melibatkan perangkat desa. Ini sesuai dengan paradigma bottom up dan manajemen partisipasi di Era Reformasi.

Desa harus diperkuat, dimodernisasi, karena desa adalah ujung tombak pembangunan nasional, bukan kota tempat elit pemerintah berkantor dan mengendalikan pembangunan. Alokasi dana APBN untuk desa yang memadai penting untuk membangun infrastruktur dasar dan penunjang di perdesaan. Pemerintah dapat mengalihkan anggaran di sejumlah kementerian yang selama ini dialirkan hingga ke desa-desa seperti kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan, Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Kehutanan, BUMN, dan Kementerian Koperasi dan UMKM.

Keuntungan lain, transfer dana APBN langsung ke desa penting untuk efisiensi, sesuai kebutuhan/tepat sasaran, dan memotong jalur birokrasi yang korup. Sebagai contoh, anggaran untuk sektor pendidikan yang mencapai 20% dana APBN terbukti tidak efektif dan tidak tepat sasaran. Buktinya, masih banyak sekolah rusak, roboh, ruang kelas terbatas, pungutan masih merajalela, uang sekolah masih mahal, buku-buku tidak tersebar merata, dan masih banyak lagi.

Konsekuesinya, perangkat desa harus diperkuat, diberi pelatihan, dan seterusnya. Mengapa? Supaya mereka mampu mengelola dana desa yang jumlahnya fantastis tiap tahunnya. Juga, dalam rangka memaksimalkan fungsi dan peran mereka. Dengan begitu, fungsi dan peran perangkat kecamatan bisa lebih maksimal. ‘Beban’ kabupaten/kota pun otomatis berkurang. 

Apakah dengan begitu, negara kita menjadi birokratis? Tidak juga sejauh sistem dan standar operasionalnya dibuat baku. Birokrasi menjadi penting sejauh itu efektif. Selain perangkat desa, kelembagaan desa juga harus diperkuat. Untuk menggerakan ekonomi desa, BUMN dan BUMD perlu diperluas hingga BUMDES. Bersamaan dengan itu, koperasi-koperasi rakyat lebih didorong seperti koperasi petani, koperasi nelayan, koperasi bahan kebutuhan pokok, dan koperasi distribusi. Kedua lembaga ekonomi ini sudah ada dan merupakan perintah Pasal 33 UUD 1945.

Langkah-langkah sebagaimana diuraikan di atas secara gamblang mengarah pada upaya moderninsasi desa. Memodernisasi desa pedalaman maupun pesisir, terutama industrialisasi pertanian dan kelautan, berarti menaikkan taraf hidup mayoritas rakyat NKRI, menjamin ketahanan pangan nasional, efisiensi sumber daya alam, dan merawat lingkungan hidup untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.

Pertanian modern sebagai sebuah sistem mencakup berbagai unsur yang saling terkait, saling berinteraksi, dan saling memengaruhi. Secara mikro, pertanian adalah proses produksi berdasarkan pertumbuhan tanaman dan hewan. Secara makro, ia merupakan industri primer yang mencakup pengorganisasian sumber daya tanah, air, dan mineral, serta modal dalam berbagai bentuk, pengelolaan tenaga kerja untuk memproduksi dan memasarkan berbagai produk pertanian.

Terwujudnya pertanian yang maju, mandiri, dan berkelanjutan mengandaikan terakomodasi dan tersedianya sejumlah faktor. Faktor-faktor yang dimaksud, antara lain: (1) pasar untuk hasil-hasil pertanian; (2) teknologi yang selalu berubah lebih maju; (3) sarana produksi dan alat-alat pertanian di tingkat lokal; (4) insentif produksi untuk petani; (5) pengangkutan atau transportasi. Dalam hal ini, dukungan infrastruktur sangat diperlukan untuk mendorong terjadinya peningkatan produktifitas bagi faktor-faktor produksi pertanian. Ketika desa menjadi maju otomatis negara bangsa ini juga maju. Tujuan negara pun dapat terealisasi. Negara kesejahteraan tidak lagi menjadi bahan diskursus tetapi termanifestasikan.

Comments

Popular posts from this blog

Penyusunan Hukum Agraria Nasional

Konsepsi Ekonomi Kerakyatan