Pergeseran Nilai Tanah
Sebagai sumber daya, tanah menyediakan ruangan yang mendukung semua kebutuhan makhluk hidup. Namun, ruangan yang disediakan sangat terbatas. Di sisi lain, kebutuhan akan tanah cenderung meningkat dari tahun ke tahun, baik untuk kebutuhan perumahan, pertanian, industri, dan sebagainya.
Ketersediaan lahan yang terbatas sementara permintaan akan lahan semakin meningkat mengakibatkan nilai tanah menjadi mahal. Tanah pun menjadi barang investasi yang menguntungkan sekaligus mendorong untuk melakukan spekulasi.
Kekuatan ekonomis tanah semakin menguat mengikuti perkembangan nilai atau harga tanah yang sangat tergantung pada penawaran dan permintaan. Ketika permintaan akan tanah semakin meningkat, tanah pun lebih dilihat sebagai komoditas. Kondisi ini tentu memperlihatkan bahwa telah terjadi pergeseran nilai tanah.
Definisi Nilai Tanah
Definisi Nilai Tanah
Definisi nilai tanah bervariasi tergantung pada konteks dan tujuan serta sudut pandangnya. Pengertian nilai itu sendiri adalah suatu yang menggambarkan harga atau nilai uang dari properti, barang atau jasa bagi pembeli dan penjual (Eckert, J. K., 1990). Nilai tanah pun dapat dipahami sebagai kekuatan nilai dari tanah untuk ditukar dengan barang lain. Misalnya, tanah padang rumput relatif bernilai rendah karena produktifitasnya rendah.
Sementara itu, dalam konteks pasar tanah, nilai tanah dianggap sebagai harga yang dikehendaki oleh penjual dan pembeli (William, M. Shengkel, 1988).
Sementara itu, dalam konteks pasar tanah, nilai tanah dianggap sebagai harga yang dikehendaki oleh penjual dan pembeli (William, M. Shengkel, 1988).
Dalam pasar properti, nilai tanah sama dengan harga pasar tanah tersebut. Nilai pasar merupakan harga yang terbaik atas suatu properti pada suatu waktu, tempat dan keadaan atau kondisi pasar tertentu. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai tanah adalah kemampuan tanah untuk menghasilkan sesuatu yang memberikan keuntungan ekonomis secara langsung.
Faktor Nilai Tanah
Faktor Nilai Tanah
Tanah dimanfaatkan untuk kepentingan yang beragam. Analisis harga tanah pun sangat diperlukan untuk mengatur pola pemanfaatan tanah. Pengaturan pola pemanfaatan tanah ditujukan untuk menjaga keseimbangan fungsi ekonomis dan ekologis.
Tokoh pertama yang mengemukakan teori pemanfaatan tanah adalah von Thunen. Ide dasar dari teori von Thunen adalah bahwa tanah harus dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga menghasilkan sewa tertinggi. Menurut teori Thunen, kegiatan pemanfaatan tanah yang memberikan hasil terbesar setiap hektar terletak paling dekat dengan pusat-pusat perekonomian (pasar).
Berdasarkan teori sewa tanah dan alokasi tanah sekurang-kurangnya terdapat lima faktor yang membuat tanah menjadi benda yang bernilai, yaitu status kepemilikan (property right), kemudahan (accessibility), kemanfaatan (utility), fasilitas (fasility) dan kelembagaan (institutional). Kelima faktor tersebut saling berkaitan dalam dimensi pertanahan.
Status kepemilikan terkait hak pemilikan tanah yang menjadi dasar pengaturan sistem pertanahan terkait dengan kedudukan tanah sebagai benda. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), hak milik digambarkan sebagai hak yang paling luas mencakup dapat dimiliki seseorang atau suatu benda dengan pembatasan-pembatasan yang ditentukan atas undang-undang (lihat KUH Perdata, Pasal 570).
Sementara, menurut UUPA, hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosialnya (Pasal 20 Ayat (1)). Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa hak milik merupakan hak yang secara otomatis dapat diwariskan, tidak ada hak yang lebih tinggi dan dapat menjadi hak induk.
Accesibility (kemudahan) merupakan dasar penilaian apakah suatu obyek tanah akan menguntungkan jika dimanfaatkan untuk suatu usaha ekonomi. Accesibility selain diukur dari potensi kesuburan fisik juga diukur dari posisi atau lokasi tanah terhadap jaringan jalan utama, pusat produksi dan pusat pemasaran. Konsep dasar accesibility dikembangkan oleh von Thunen yang menyimpulkan bahwa kegiatan pemanfaatan tanah memberi hasil terbesar satuan hektar adalah terletak paling dekat dengan pusat-pusat perekonomian (pasar).
Utility (kemanfaatan) merupakan dasar penilaian apakah suatu bidang tanah dapat memberi kegunaan atau manfaat yang penuh bagi penguasaan atau pemiliknya. Sebagai contoh tanah yang digunakan untuk perumahan dan ditempati sehari-hari akan memberi nilai guna yang tinggi bagi penghuninya. Karena itu, harga perumahan akan relatif lebih tinggi dibanding harga tanah sawah atau tanah kering.
Fasility (fasilitas) berkaitan dengan sarana dan prasarana yang ditambahkan di suatu wilayah sehingga terjadi peningkatan nilai guna tanah di wilayah tersebut. Dengan begitu, tanah di wilayah itu memberi perluasan berbagai pilihan kegiatan manusia. Harga tanah seperti diketahui merupakan pertemuan tarik menarik antara kekuatan permintaan dan kekuatan penawaran. Tinggi rendahnya permintaan ditentukan oleh preferensi konsumen dan kegunaan tanah tersebut.
Kelembagaan penilaian tanah dewasa ini mengacu pada nilai jual objek pajak (NJOP). NJOP menjadi acuan dalam penetapan harga tanah untuk kegiatan pelayanan pertanahan, antara lain: penetapan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), penetapan uang ganti rugi pembebasan tanah untuk kepentingan umum, penilaian tanah untuk pembebanan hak tanggungan yang menggunakan jaminan hak atas tanah dan sebagainya.
Hingga saat ini ada tiga jenis kelembagaan penetapan harga tanah, yakni: (1) penentuan harga tanah oleh pejabat pembuat akta tanah (PPAT) yang mendasarkan pada kesepakatan harga antara penjual dan pembeli tanah; (2) penentuan harga tanah yang disesuaikan dengan ketetapan direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu melalui NJOP; dan (3) penentuan harga tanah yang ditetapkan oleh tim dari kantor pertanahan, instansi PBB, camat/PPAT, lurah dan kepala bagian pemerintah daerah setempat untuk keperluan pengadaan tanah. Ketiga penetapan itu secara umum menggunakan metode perbandingan berdasarkan data pasaran dengan mempertimbangkan tanah sejenis, lokasi sama, tanggal jual/beli/sewa sah, dan keadaan tanah.
Selain faktor sewa tanah, nilai tanah juga dipengaruhi faktor ekonomi, faktor sosial, faktor pemerintah, dan faktor fisik (Wolcott, 1987). Faktor ekonomi, ditunjukkan dengan hubungan permintaan dan penawaran dengan kemampuan ekonomi suatu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Variabel permintaan meliputi jumlah tenaga kerja, tingkat upah, tingkat pendapatan dan daya beli, tingkat suku bunga dan biaya transaksi. Variabel penawaran meliputi jumlah tanah yang tersedia, biaya perizinan, pajak dan biaya overhead lainnya.
Faktor sosial ditunjukkan dengan karakteristik penduduk yang meliputi jumlah penduduk, jumlah keluarga, tingkat pendidikan, tingkat kejahatan dan lain-lain. Faktor ini membentuk pola penggunaan tanah pada suatu wilayah.
Faktor pemerintah berkaitan dengan ketentuan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah dalam bidang pengembangan atau penggunaan tanah (zoning). Penyediaan fasilitas dan pelayanan oleh pemerintah memengaruhi pola penggunaan tanah, misalnya fasilitas keamanan, kesehatan, pendidikan, jaringan transportasi, peraturan perpajakan, dan lain-lain. Selanjutnya, faktor fisik berhubungan dengan kondisi lingkungan, tata letak atau lokasi dan ketersediaan fasilitas sosial.
Interaksi faktor-faktor tersebut di atas menciptakan nilai yang tercermin dalam prinsip ekonomi permintaan dan penawaran. Permintaan suatu komoditas tercipta karena komoditas tersebut memiliki kegunaan dan keterbatasan di pasar. Permintaan juga dipengaruhi oleh keinginan untuk memuaskan kebutuhan tetapi dibatasi oleh kemampuan daya beli.
Pergeseran Nilai
Pergeseran nilai tanah tidak terlepas dari pengaruh ideologi ekonomi yang dianut suatu negara. Penganut ideologi ekonomi kapitalis lebih memandang tanah sebagai komoditas. Sebaliknya, penganut ideologi sosialis dan populistik lebih menekan fungsi sosial dari tanah.
Pergeseran nilai tanah sangat terlihat ketika terjadi perubahan ideologi ekonomi dari populistik ke kapitalis. Sifat sosial tanah diberangus. Dalam hal kepemilikan tanah, kepentingan individu menjadi segalanya. Unsur kebersamaan dari kepemilikan tanah tersebut menjadi hilang. Tanah lebih dipandang sebagai komoditas. Ketika, tanah dianggap sebagai komoditas, perubahan fungsi sosial tanah pun sulit terelakkan.
Pengaruh Ideologi Ekonomi
Kedudukan tanah sangat dipengaruhi corak sosial-ekonomi suatu masyarakat. Ada 4 (empat) tipe corak sosial-ekonomi dalam sejarah perkembangan masyarakat yang memengaruhi kedudukan tanah, yakni: (1) corak masyarakat pra-kapitalis, (2) corak masyarakat kapitalistik, (3) corak masyarakat sosialistik, dan (4) corak masyarakat populistik.
Dalam masyarakat pra-kapitalis, tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara komunal. Tidak ada konsep kepemilikan dalam corak masyarakat seperti ini. Tanah mempunyai fungsi sosial. Individu dapat mengelola dan memanfaatkan tanah tanpa harus memiliki. Tanah adat merupakan salah satu bentuk penguasaan alat produksi dalam corak masyarakat seperti ini. Kewenangan pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan tanah ditentukan oleh hukum adat yang berlaku.
Dalam masyarakat kapitalistik, tanah dipandang sebagai alat produksi yang dimiliki secara individual. Dalam konsep ini individu mempunyai hak dan dapat secara bebas memiliki tanah atau memindahkannya melalui mekanisme pasar pada orang lain. Pemanfaatan dan pengelolaan tanah menjadi hak sepenuhnya bagi si pemilik. Masyarakat atau negara tidak bisa mengintervensi atau menghapus status pemilikan tanah yang dipunyai seseorang kecuali harus melalui mekanisme undang-undang yang telah ditetapkan.
Dalam masyarakat sosialistik tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara kolektif. Konsep pemilikan juga tidak dibenarkan. Perbedaannya dengan sistem pra-kapitalis adalah terletak pada penguasaan secara kolektif ini berada dibawah kewenangan dan kontrol negara.
Dalam masyarakat populistik, tanah dipandang sebagai alat produksi yang mempunyai fungsi sosial dan tidak dijadikan komoditi. Individu atau masyarakat mempunyai hak untuk memiliki atau menguasai tanah. Namun, kepemilikan atau penguasaannya tidak absolut sebagaimana konsep kepemilikan tanah dalam sistem kapitalistik. Negara berhak untuk mengintervensi apabila kepemilikan/penguasaan tanah berkembang menjadi sumber eksploitasi pihak lain.
Bangsa Indonesia sendiri melewati 3 (tiga) fase perubahan kedudukan status tanah. Fase pertama, tanah dipandang sebagai alat produksi yang dikuasai secara komunal yakni pada masa pra-kapitalis. Fase kedua, tanah dipandang sebagai alat produksi yang dimiliki secara individual dan berfungsi sebagai komoditi. Ini terjadi pada periode kolonial belanda yang dikenal sebagai tanah eigendom, tanah erfpacht dan tanah opstal (tanah-tanah dengan hak-hak barat).
Fase terakhir, kedudukan tanah dalam kerangka sistem yang populistik. Hal ini terjadi pada periode setelah kemerdekaan hingga berakhirnya Orde Lama.
UUPA, spirit dan landasan filosofinya menganut sistem populistik. UUPA menegaskan perlu dilaksanakannya landreform sebagai syarat untuk pembangunan struktur agraria yang adil dan merata.
Pada masa pemerintah Orde Baru, paradigma pembangunan populistik digeser ke paradigma kapitalistik. Perubahan ini menempatkan tanah sebagai komoditi dan menjadi alas bagi pertumbuhan ekonomi. UU dan peraturan-peraturan sektoral yang mendukung strategi pertumbuhan dikeluarkan. Selain itu, proses pengambilalihan tanah yang sebelumnya dikuasai rakyat dilakukan dengan cara-cara kekerasan dan represif.
Negara melegitimasi dirinya dalam pengambilalihan tanah-tanah masyarakat baik di pedesaan maupun di perkotaan dengan cara memelintir konsep hak menguasai negara. Dalam perkembangannya, dikuasai oleh negara diinterpretasi menjadi dimiliki negara. Padahal, konsep Hak Menguasai Negara jelas mengacu pada Pasal 33 Ayat (3) UUD tahun 1945. Tanah pun menjadi bagian dari komoditi sebagai alas untuk pembangunan dan negara mempunyai kekuasaan penuh untuk mengatur semua itu.
Tanah sebagai Komoditas
Saat ini, esensi tanah sebagai komoditas ekonomi menjadi begitu penting. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah tanah yang relatif tetap sementara pertambahan penduduk semakin meningkat. Akibatnya, pemilikan tanah tiap individu semakin sempit.
Tanah sebagai Komoditas
Saat ini, esensi tanah sebagai komoditas ekonomi menjadi begitu penting. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah tanah yang relatif tetap sementara pertambahan penduduk semakin meningkat. Akibatnya, pemilikan tanah tiap individu semakin sempit.
Malahan, penguasaan tanah terkonsentrasi pada segelintir orang terutama kaum pemodal dan pengusaha besar. Saat ini, seseorang membutuhkan dana yang banyak untuk dapat memiliki tanah. Penawaran relatif tetap, sementara permintaan meningkat tajam, sehingga harga tanah melonjak drastis.
Harga tanah yang semakin tinggi juga disebabkan tingginya laju pembangunan yang terkonsetrasi pada industri dan perumahan. Fakta bahwa semakin banyak lahan subur yang dialihfungsikan menjadi perumahan maupun kawasan industri. Alih fungsi lahan subur ini tentu berdampak pada usaha swasembada pangan. Tidak mengherankan bila ketahanan pangan nasional sekarang masih bergantung pada impor.
Faktor perdagangan bebas dan globalisasi mengakibatkan daerah yang subur, jumlah penduduknya yang besar, dan relatif aman menjadi destinasi investasi bagi kaum kapitalis besar. Kondisi perekonomian Indonesia yang terus bertumbuh dan kaya akan sumber daya alam menarik perhatian investor asing. Ketika investor asing menginvestasikan modalnya di Indonesia tentu membutuhkan tanah maupun infrastruktur lainnya, maka penyediaan tanah menjadi prioritas. Kondisi ini yang sering memicu terjadinya alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya berimbas pada petani yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Para petani semakin sulit berproduksi mengingat lahan pertanian semakin menyempit.
Padahal, Pasal 33 UUD 1945 menyatakan dengan jelas bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Artinya, kepentingan bersama lebih diutamakan dari kepentingan individu. Dengan begitu, tanah semestinya untuk kepentingan rakyat banyak bukan untuk kepentingan kaum bermodal yang dapat merugikan kepentingan negara.
Perubahan Fungsi Sosial Tanah
Dalam Pasal 6 UUPA disebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ketentuan tersebut mendasari sifat kebersamaan atau kemasyarakatan dari setiap hak atas tanah. Artinya, tanah hak yang ada pada seseorang tidak semata-mata dipergunakan untuk kepentingan pribadinya.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan pemilik sekaligus bagi masyarakat dan negara. Konsep fungsi sosial hak atas tanah sejalan dengan hukum adat yang menyatakan bahwa tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat adalah tanah kepunyaan bersama seluruh warga masyarakat, yang dimanfaatkan untuk kepentingan bersama bagi warga masyarakat adat bersangkutan.
Untuk dapat memenuhi kebutuhan, setiap warga diberi kesempatan untuk membuka, menguasai, dan memanfaatkan bagian-bagian tertentu dari tanah adat (ulayat). Apabila suatu bagian tanah sudah diberikan kepada warga maka harus dimanfaatkan dan dipelihara sehingga tindakan pembiaran/penelantaran suatu bagian tanah dapat dinilai menyalahi tujuan pemberian hak atas tanah tersebut.
Dengan demikian, tanah yang dimiliki oleh seseorang tidak hanya berfungsi bagi pemilik hak itu, tetapi juga bagi bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sebagai konsekuensinya, penggunaan tanah tersebut tidak hanya berpedoman pada kepentingan pemegang hak, tetapi juga memperhatikan kepentingan masyarakat. Untuk itu, perlu adanya perencanaan, peruntukan, dan penggunaan hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UUPA. Artinya dengan menggunakan tanah sesuai rencana yang telah ditetapkan oleh pemerintah berarti fungsi sosial atas sesuatu hak atas tanah telah terpenuhi.
Fungsi sosial hak atas tanah mewajibkan para pemegang hak untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya, yakni keadaan tanahnya serta sifat dan tujuan pemberian haknya. Apabila kewajiban tersebut diabaikan akan mengakibatkan hapusnya atau batalnya hak yang bersangkutan. Jika sesuatu hak atas tanah ditelantarkan maka haknya akan hapus dan tanahnya menjadi tanah negara. Berkaitan dengan fungsi sosial tersebut maka tanah tidak boleh dijadikan objek investasi semata-mata. Tanah yang dijadikan objek spekulasi, bertentangan dengan fungsi sosial karena akan menambah kesulitan dalam pelaksanaan pembangunan.
Pergantian pemerintahan sejak Orde Lama hingga saat ini ternyata telah mengubah paradigma ekonomi, politik dan hukum yang dianut oleh negeri ini. Perubahan paradigma pembangunan dari populistik menuju liberalistik berimplikasi pada perubahan fungsi sosial tanah.
Ada sejumlah faktor yang menjadi penyebab terjadinya perubahan fungsi sosial tanah, di antaranya: (1) meningkatnya kebutuhan tanah karena pembangunan atau pendirian industri; (2) perubahan sosial dalam masyarakat di wilayah industri; dan (3) tanah menjadi semakin berdimensi ekonomis.
Pembangunan atau pendirian berbagai industri selalu didahului dengan kegiatan pembebasan tanah.
Pembebasan tanah selalu merambah atau meliputi tanah-tanah milik warga masyarakat yang semula terbatas untuk usaha pertanian dan hampir tak tersentuh kegiatan ekonomi modern. Akibatnya, banyak tanah yang dikonversi atau dialihfungsikan dari usaha pertanian menjadi sarana untuk usaha industri. Dengan demikian, tanah menjadi alat produksi bagi para pengusaha industri dan bukan sebagai sarana produksi sub sistem bagi rakyat yang semula adalah pemilik tanah.
Perubahan sosial dalam masyarakat ditandai dengan munculnya nilai-nilai sosial baru yang bersifat individualisme dan memaksimalisasi keuntungan dalam hubungannya dengan kepemilikan tanah. Munculnya nilai-nilai sosial baru yang berbeda dengan nilai-nilai yang dianut dalam UUPA menyebabkan kepemilikan tanah menonjolkan fungsi individunya daripada fungsi sosialnya.
Kepemilikan atas tanah pun lebih berorientasi menjadi hak individualnya semata dan mengeyampingkan fungsi sosialnya. Tanah dijadikan sebagai objek spekulasi atau sebagai komoditas ekonomi untuk kepentingan pribadi rangka memperoleh keuntungan individualnya. Harga tanah pun semakin melonjak. Tanah lebih dimaknai sebagai fungsi ekonomis semata sehingga tanah berubah menjadi komoditas ekonomi atau komoditas perdagangan. Hal ini memunculkan spekulan tanah yang sengaja menelantarkan tanahnya demi kepentingan investasi yang lebih menguntungkan secara ekonomi.
Referensi
Bernhard Limbong, Bank Tanah, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2013
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang, 2007
Eckert, J. K., Property Appraisal and Assessment Administration, IAAO, Chicago Illinois, 1990
Shengkel William, M., Modern Real Estate Appraisal, McGraw Hill, 1988
Wolcott, Richard C., The Appraisal of Real Estate American Institute of Real Estate Appraiser, North Michigan, Chicago Illinois, 1987
Undang-Undang Dasar 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Syaiful Bahari, Tanah Sebagai Fungsi Sosial Versus Komoditi Dalam Perspektif Politik Hukum Agraria (Artikel) dalam http://sabiqcarebesth.wordpress.com/2012/03/27, 2012.

Comments
Post a Comment