Makna Tanah Bagi Bangsa Indonesia
Eksistensi
tanah sangat vital bagi kehidupan manusia.
Sebagian besar kehidupan manusia memerlukan tanah. Manusia membutuhkan tanah
untuk kelangsungan hidup bahkan ketika manusia itu meninggal. Di samping itu,
tanah menjadi harta yang bersifat permanen karena dapat dicadangkan untuk
kehidupan di masa mendatang.
Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk
tempat tinggal dan sumber kehidupan. Dengan
demikian, tanah merupakan kebutuhan dasar manusia.
Tanah
juga merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk
hidup dan kehidupan. Bagi kelompok manusia yang satu dengan yang lainnya, makna
tanah berbeda-beda. Selanjutnya, dalam perkembangannya, tanah cenderung dilihat
dari sisi ekonomisnya. Tanah telah tumbuh sebagai benda ekonomis yang sangat
penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.
Bagi
bangsa Indonesia sendiri tanah bermakna multidimensional. Tanah dapat dipandang
dari berbagai aspek, seperti aspek budaya, ideologi, dan sosial. Tanah
merupakan tempat masyarakat melakukan proses berbudaya, ruang hidup bagi
masyarakat bangsa Indeonsia, dan
memiliki fungsi sosial.
Tanah
merupakan social asset sekaligus capital asset jika dilihat dari
fungsinya. Sebagai social asset tanah
merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup
dan kehidupan. Sebagai capital asset,
tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda
ekonomi yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek
spekulasi (Achmad Rubaie, 2007).
Tanah memiliki kekuatan sosial ekonomi. Secara fisik, tanah merupakan aset ekonomi yang relatif tidak terpengaruh oleh kemungkinan penurunan nilai dan harga; aset terbatas dan tidak akan bertambah kecuali melalui penanganan khusus misalnya reklamasi; nilai dan harganya sangat ditentukan oleh kegiatan fungsional yang dikembangkan di atasnya; bersifat stationer dan tidak dapat dipindahkan; dan merupakan investasi jangka panjang/tabungan.
Makna Filosofis
Manusia memiliki hubungan yang erat dengan tanah sepanjang sejarah hidupnya. Hubungan antara tanah dengan manusia merupakan hubungan yang hakiki dan bersifat magis-religius. Nilai filosofis tanah itu bersifat universal, berlaku pada siapapun, di manapun dan kapanpun.
Dalam perspektif hukum adat, tanah
adalah benda berjiwa yang tidak boleh dipisahkan persekutuannya dengan manusia.
Tanah dan manusia, meskipun berbeda wujud dan jati diri, namun merupakan suatu kesatuan yang saling mempengaruhi
dalam jalinan susunan keabadian tata alam. Dengan demikian, pengertian tanah
secara luas meliputi semua unsur bumi, air, udara, kekayaan alam, serta
hubungan antara sesama manusia sebagai pusat, maupun roh-roh di alam
supranatural yang terjalin secara menyeluruh dan
utuh.
Bangsa Indonesia sendiri memandang
tanah secara filosofis sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Bagi bangsa Indonesia, tanah merupakan sumber daya strategis,
sebagai kekayaan nasional, pemersatu wilayah, karunia Tuhan Yang Maha Esa, dan untuk kemakmuran rakyat. Kemakmuran itu
dengan sendirinya memerlukan upaya dengan memberikan nilai tambah atau hasil
yang bermanfaat guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan.
Makna Sosiologis
Makna tanah secara sosiologis dapat dilihat dari unsur penguasaan atas tanah dan bagaimana memperlakukan tanah. Kepemilikan tanah turut memberikan status sosial bagi masyarakat. Dalam masyarakat petani, status seorang petani penggarap tentu lebih rendah dibandingkan dengan petani pemilik tanah.
Selanjutnya, terkait bagaimana memperlakukan tanah, makna tanah berbeda-beda bagi masyarakat. Makna tanah bagi petani tentu berbeda dengan makna tanah bagi
pegawai pertanahan atau bagi pemerhati lingkungan. Bagi petani, makna tanah
terkait dengan kesuburan tanah. Nilai yang diberikan pada tanah tersebut
mengacu pada konsep produktivitas. Semakin subur tanah
tersebut atau semakin produktif akan semakin tinggi nilainya.
Bagi pegawai pertanahan, makna
tanah terkait penguasaan dan penggunaan tanah untuk berbagai kehidupan. Nilai
yang diberikan pada tanah tersebut mengacu pada konsep kepemilikan dan intensitas penggunaan tanah. Semakin jelas dan kuat hak penguasaannya dan semakin besar
intensitas penggunaan yang diberikan oleh sebidang tanah tersebut maka semakin
tinggi nilainya.
Bagi pemerhati lingkungan, makna
tanah dilihat dari aspek konservasi. Pengertian tanah terkait dengan potensi
kerusakan atau pencemaran lingkungan atau perlindungan yang harus diberikan
karena sifat khas kelangkaan, keberadaan maupun kandungan nilai budaya
tertentu. Nilai yang diberikan pada tanah tersebut mengacu pada konsep
keberlanjutan.
Makna Ekonomis
Tanah sebagai sumber daya ekonomi berkembang sejak adanya teori ekonomi klasik. Teori ini berkontribusi pada munculnya praktik kolonialisme yang pada gilirannya menjadikan daerah jajahan atau koloni sebagai sumber penghasil bahan perdagangan.
Gagasan tersebut telah menjadi amanat konstitusional
sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 Ayat (3)
UUD 1945. “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam
Pasal tersebut terkandung makna pemberian kekuasaan pada negara untuk mengatur
sumber daya alam yang terkandung di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam rangka menyejahterakan segenap
rakyat Indonesia.
Tanah bagi bangsa Indonesia mempunyai kedudukan yang khusus dan istimewa. Karenanya, ketentuan dan pengaturan tanah sebagai benda dipisahkan dengan
ketentuan benda bukan tanah. Kedudukan tanah yang istimewa dalam kehidupan masyarakat hukum adat maupun dalam alam
pemikiran masyarakat Indonesia dewasa ini terakomodasi dalam UUPA yang menyatakan adanya hubungan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah.
Kedudukan tanah bagi bangsa Indonesia dapat dilihat dari aspek budaya, ideologi, dan sosial.
Aspek Budaya
Bagi masyarakat adat, tanah adalah benda yang bernilai tinggi karena dianggap mengandung aspek spiritual. Tanah merupakan sesuatu yang berkembang dengan para leluhurnya. Seorang manusia tidak dapat hidup tanpa tanah; ia bekerja dan hidup sehari-hari di atas tanah; makanan utamanya juga ditanam di dalam tanah; demikian pula ketika mereka meninggal, dikuburkan dalam tanah. Dengan demikian, tanah bagi masyarakat adat adalah ruang hidupnya (liebenstraum).
Ketika diberlakukan UUPA, asas yang
terkandung dalam hukum adat ditingkatkan dalam suasana nasional sehingga
pengaturan hukum benda tentang tanah juga dipisahkan hukum tanah dengan hukum
benda bukan tanah. Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa
hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.
Dalam konteks budaya, hubungan tanah dengan manusia
mengandung unsur keadilan dan tanggung jawab sosial. Setiap manusia mempunyai
hak atas tanah mengingat tanah merupakan tempat
manusia dapat melangsungkan kehidupannya. Melepaskan hubungan
manusia dengan tanah berarti memutuskan rantai
kehidupan suatu kelompok masyarakat. Tanah juga merupakan wadah, tempat manusia
melakukan proses berbudaya. Karena itu, menjauhkan
manusia dari tanah mengandung unsur memutuskan kebudayaan.
Aspek Ideologi
Tanah selain menjadi ruang hidup masyarakat, juga menjadi ruang hidup bangsa dan negara Indonesia. Hal ini tercermin dalam asas nasionalistis yang diakomodasi dalam UUPA.
Asas nasionalistis ini mengandung aspek spirituil seperti
jiwa pada tanah ulayat yang hanya memberi kemungkinan bagi warga ulayat untuk
mengikuti dan menikmati tanah usaha warga ulayat setempat. Sehingga, dapat
dikatakan bahwa tanah di Indonesia tidak bebas sebagai
objek dunia usaha yang menggunakan tanah sebagai komoditas.
Pada era reformasi telah ditetapkan pembaruan agraria/pertanahan dalam politik agraria yang tertuang TAP MPR NO. IX/2001. Dalam TAP MPR tersebut digariskan bahwa pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan
berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian
dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia (Pasal 2).
Pembaruan agraria (pertanahan) itu sendiri dilakukan sesuai
dengan prinsip-prinsip, antara lain: (1) mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan,
penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya
alam; (2) memelihara
keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi
sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan
dukung lingkungan; (3) melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis
sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; dan (4) mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum
adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam (Lihat Pasal 5).
Aspek Sosial
Tanah bagi bangsa Indonesia dilihat dari aspek sosial tercermin dalam hubungan kemitraan. Pola kemitraan yang dimaksud meliputi: (1) hubungan pengolahan tanah dalam bentuk persewaan tanah, bagi hasil, dan gadai; (2) hubungan penjaminan dalam bentuk penggunaan tanah sebagai jaminan pelunasan pinjaman uang; (3) hubungan penumpangan dalam bentuk pemberian izin untuk menempati dan membangun rumah di pekarangan pemilik tanah; dan (4) hubungan pemakaian, yaitu pemberian izin kepada orang lain untuk dipakai selama pemilik tanah tidak berada ditempat (Gautama S., 1993).
Dari keempat jenis hubungan tersebut terjalin kerja sama kemitraan untuk saling memenuhi kebutuhan antara pemilik
tanah dengan pemilik modal berupa uang maupun tenaga kerja. Pola hubungan
kemitraan tersebut dapat terjadi karena tanah tidak semata-mata dianggap
sebagai benda modal tetapi juga benda sosial yang pemanfaatannya memperhatikan
pihak lain (Terr
Haar, 1994). Konsep hubungan kemitraan adalah filosofi adat yang diakomodasi
dalam UUPA, seperti pada Pasal 2c yang mengatur hubungan hukum dan perbuatan antara orang dengan tanah
serta Pasal 6 yang menyatakan hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Referensi
Bernhard Limbong, Bank Tanah, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2013
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang, 2007, hlm. 1
Gautama, Tafsiran UUPA, PT. Cakra Aditya Bhakti, Bandung, 1993.
Risnarto MS, Analisis Manajemen Agraria Indonesia, Program Pascasarjana Manjemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2006
Terr Haar, Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Tanah memiliki kekuatan sosial ekonomi. Secara fisik, tanah merupakan aset ekonomi yang relatif tidak terpengaruh oleh kemungkinan penurunan nilai dan harga; aset terbatas dan tidak akan bertambah kecuali melalui penanganan khusus misalnya reklamasi; nilai dan harganya sangat ditentukan oleh kegiatan fungsional yang dikembangkan di atasnya; bersifat stationer dan tidak dapat dipindahkan; dan merupakan investasi jangka panjang/tabungan.
Makna Filosofis
Manusia memiliki hubungan yang erat dengan tanah sepanjang sejarah hidupnya. Hubungan antara tanah dengan manusia merupakan hubungan yang hakiki dan bersifat magis-religius. Nilai filosofis tanah itu bersifat universal, berlaku pada siapapun, di manapun dan kapanpun.
Makna Sosiologis
Makna tanah secara sosiologis dapat dilihat dari unsur penguasaan atas tanah dan bagaimana memperlakukan tanah. Kepemilikan tanah turut memberikan status sosial bagi masyarakat. Dalam masyarakat petani, status seorang petani penggarap tentu lebih rendah dibandingkan dengan petani pemilik tanah.
Makna Ekonomis
Tanah sebagai sumber daya ekonomi berkembang sejak adanya teori ekonomi klasik. Teori ini berkontribusi pada munculnya praktik kolonialisme yang pada gilirannya menjadikan daerah jajahan atau koloni sebagai sumber penghasil bahan perdagangan.
Artinya, kolonialisme pada awalnya
merupakan bentuk penjajahan ekonomi karena daerah jajahan merupakan penghasil rempah-rempah yang pada waktu itu menjadi
mata dagangan utama di Eropa. Hal serupa dialami
bangsa Indonesia pada masa penjajahan. Indonesia
dianggap sebagai salah satu aset lokasi penghasil komoditi perkebunan yang
strategis.
Perubahan pandangan perspektif
ekonomi terhadap tanah berkembang secara cepat. Saat ini tanah lebih menonjolkan
fungsinya sebagai aset modal. Tanah lebih dilihat sebagai komoditas. Penguasaan
dan pemanfaatan tanah pun bergantung pada mekanisme pasar. Artinya, kapitalisme
turut mengintervensi penguasaan dan pemilikan tanah. Hal ini kemudian menimbulkan ketimpangan dalam struktur kepemilikan tanah.
Kepemilikan tanah terkonsentrasi pada segelintir orang yang memiliki modal yang
besar.
Penguasaan tanah pun menjurus sedemikian rupa sebagai alat ekonomi untuk menguasai
hajat hidup orang banyak. Permintaan tanah melalui izin lokasi untuk perumahan, industri, perkebunan dan
pariwisata semakin meningkat sehingga harga tanah menjadi
melonjak tanpa terkendali. Dengan demikian, perspektif
ekonomi terhadap tanah akan mendorong penguasaan dan pemanfaatan tanah untuk
berbagai kepentingan kehidupan masyarakat yang akan berimplikasi terhadap
pandangan terhadap kedudukan dan fungsi tanah di masyarakat.
Tanah bagi Bangsa Indonesia
Tanah merupakan anugerah Tuhan dan menjadi sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara, dan rakyat. Dengan demikian, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa.
Tanah bagi Bangsa Indonesia
Tanah merupakan anugerah Tuhan dan menjadi sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, negara, dan rakyat. Dengan demikian, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup bangsa.
Aspek Budaya
Bagi masyarakat adat, tanah adalah benda yang bernilai tinggi karena dianggap mengandung aspek spiritual. Tanah merupakan sesuatu yang berkembang dengan para leluhurnya. Seorang manusia tidak dapat hidup tanpa tanah; ia bekerja dan hidup sehari-hari di atas tanah; makanan utamanya juga ditanam di dalam tanah; demikian pula ketika mereka meninggal, dikuburkan dalam tanah. Dengan demikian, tanah bagi masyarakat adat adalah ruang hidupnya (liebenstraum).
Aspek Ideologi
Tanah selain menjadi ruang hidup masyarakat, juga menjadi ruang hidup bangsa dan negara Indonesia. Hal ini tercermin dalam asas nasionalistis yang diakomodasi dalam UUPA.
Aspek Sosial
Tanah bagi bangsa Indonesia dilihat dari aspek sosial tercermin dalam hubungan kemitraan. Pola kemitraan yang dimaksud meliputi: (1) hubungan pengolahan tanah dalam bentuk persewaan tanah, bagi hasil, dan gadai; (2) hubungan penjaminan dalam bentuk penggunaan tanah sebagai jaminan pelunasan pinjaman uang; (3) hubungan penumpangan dalam bentuk pemberian izin untuk menempati dan membangun rumah di pekarangan pemilik tanah; dan (4) hubungan pemakaian, yaitu pemberian izin kepada orang lain untuk dipakai selama pemilik tanah tidak berada ditempat (Gautama S., 1993).
Referensi
Bernhard Limbong, Bank Tanah, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2013
Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang, 2007, hlm. 1
Gautama, Tafsiran UUPA, PT. Cakra Aditya Bhakti, Bandung, 1993.
Risnarto MS, Analisis Manajemen Agraria Indonesia, Program Pascasarjana Manjemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor, Bogor, 2006
Terr Haar, Azas-azas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1994
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Ketetapan MPR Nomor IX/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan
Sumberdaya Alam

Comments
Post a Comment