KOMPENSASI PENGADAAN TANAH YANG BERKEADILAN



Aspek kompensasi merupakan masalah paling krusial dalam keseluruhan proses pengadaan tanah untuk pembangunan. Namun, ketentuan kompensasi dalam regulasi maupun pada tataran implementasinya hanya terfokus pada kalkulasi ekonomi semata (kompensasi fisik).
Sepanjang sejarah regulasi pengadaan tanah di Indonesia, kerugian filosofis dan sosiologis yang dialami pemilik hak atas tanah tidak pernah dihitung, seperti dampak kehilangan pekerjaan dan konsekuensi-konsekuensi sosial budaya dalam lingkungan tempat tinggal yang baru. Tidak ada ketentuan yang menunjukkan bahwa pemberian kompensasi itu menjamin kehidupan rakyat yang kehilangan hak atas tanahnya jadi lebih baik.
Komponen kerugian yang dinilai serta dasar perhitungan dan bentuk ganti rugi tidak menjamin kehidupan yang lebih baik bagi pemegang hak atas tanah dibandingkan sebelum adanya proyek pembangunan. Aspek kerugian dan pilihan-pilihan bentuk ganti rugi tidak diatur secara rinci dan lugas.
Dalam UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum memang disebutkan kerugian yang harus diganti berupa kerugian fisik dan nonfisik. Akan tetapi, pembuat UU gagal mendefinisikan aspek kerugian nonfisik sehingga tidak mampu memerincinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa regulasi sejak awal hendak menganulasi kompensasi yang menyejahterakan, berkeadilan, dan berkelanjutan.
Dalam sejumlah literatur internasional, sangat jelas apa yang dimaksud dengan kerugian non-fisik, yaitu kerugian sosiologis dan filosofis seperti ketercerabutan kehidupan sosial pemegang hak atas tanah di tempat yang lama, kehilangan tanah dan rumah yang bernilai sejarah, kenyamanan, ketenangan, kenangan, dan kenikmatan-kenikmatan di tempat yang lama.
Pada prinsipnya, perhitungan kompensasi yang layak harus memerhatikan tiga aspek penting berikut, yakni aspek ekonomi, aspek sosiologis, dan aspek filosofis. Secara sosiologis, pemilik hak atas tanah berhak mendapatkan kompensasi terhadap peralihan profesi akibat pelepasan tanah sebagai mata pencaharian.
Bagaimana petani yang kehilangan tanahnya harus berubah profesi menjadi nonpetani, seperti buruh tani, buruh pabrik, penarik becak, buruh bangunan yang sebelumnya tak pernah mereka bayangkan. Sama halnya dengan peralihan profesi, relokasi atau perpindahan tempat dari sebuah komunitas yang sudah menyatu dengan pemilik tanah membuat mereka enggan untuk melepaskan hak mereka atas tanah.
Pemilik tanah mengalami ketercerabutan dari kehidupan sosial dari komunitas yang mereka tinggal sebelumnya. Mereka terpaksa harus berupaya untuk beradaptasi lagi dengan lingkungan baru. Apalagi bagi anak-anak yang sedang berkembang secara sosial dan psikologis. Mereka akan merasa asing dengan komunitas yang baru. Mereka juga harus belajar untuk bersosialisasi dengan masyarakat yang baru.
Hal lain bahwa tanah memiliki nilai kebahagiaan yang di dalamnya tercakup kenikmatan. Salah satu sebabnya adalah bahwa kepemilikan atas tanah dapat menimbulkan kenang-kenangan bagi pemilik tanah. Sudah seharusnya dalil yang dipakai adalah bahwa kehidupan pemegang hak atas tanah harus lebih baik dibandingkan sebelum mereka melepaskan tanahnya untuk pembangunan.
Dalam perspektif itu, paradigma yang tepat adalah kompensasi, bukan ganti rugi. Di satu sisi, tidak (sepatutnya) ada yang rugi atau dirugikan dalam pengadaan tanah untuk pembangunan. Sebaliknya, pemegang hak atas tanah seharusnya mendapat pergantian yang setimpal (kompensasi) dari keiklasannya melepas hak atasnya.
Untuk mewujudkan hal itu, bentuk dan dasar perhitungan kompensasi harus detail dan jelas. Selain kerugian fisik (kehilangan aset tanah, rumah, dan tanaman) harus dihitung berdasarkan harga pasar, pemegang hak atas tanah juga harus mendapat kompensasi atas kerugian non fisik (sosiologis dan filosofis). 
Kerugian sosiologis terkait ketercerabutan kehidupan sosial pemegang hak atas tanah di tempat yang lama seperti lingkungan tempat tinggal, pertemanan, sekolah, keagamaan, perkumpulan atau peguyupan. Kerugian filosofis antara lain terkait nilai sejarah tanah, kenyamanan, ketenangan, kenangan, dan kenikmatan-kenikmatan di tempat yang lama.
Jika semua kerugian fisik dan non fisik itu dihitung secara detail dan cermat dalam konteks kompensasi, Penulis meyakini bahwa rakyat pemegang hak atas akan dengan antusias menyerahkan tanahnya untuk kepentingan pembangunan. Dengan demikian, konflik pengadaan tanah yang tak pernah surut selama ini bisa ditekan serendah-rendahnya.

Comments

Popular posts from this blog

Penyusunan Hukum Agraria Nasional

Konsepsi Ekonomi Kerakyatan