
Bangsa
Indonesia sudah lebih dari setengah abad hidup dalam alam kemerdekaan. Namun,
pelaksanaan pembangunan nasional selama ini yang sejatinya bermuara pada
keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat NKRI justru berujung pada
keterpurukan dan pelapukan di berbagai segi kehidupan. Mayoritas rakyat NKRI
hidup dalam kesulitan sosial ekonomi yang tak berpengharapan, kalah bersaing
dan bahkan ‘dikuasai asing’, sehingga jauh tertinggal dari negara lain.
Seyogianya, kehadiran
dan peranan negara harus nyata dan jelas di tengah kegamangan kita berbangsa
dan bernegara. Bangsa kita dilingkungi kemiskinan yang akut, pengangguran,
kesenjangan sosial, tingkat kriminalitas yang tinggi, perdagangan manusia,
‘perbudakan’ tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, kekerasan horizontal,
bisnis narkoba yang menyeret generasi muda hingga anak-anak SMP, korupsi yang
merajalela di semua lembaga negara, perampokan kekayaan alam milik negara oleh
segelintir orang, hingga gerakan separatis membuat kita miris, malu, dan takut
sebagai bangsa.
Sungguh
miris kedengarannya ketika WHO menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
korban flu burung terbanyak di dunia. Tapi, itulah kenyataan yang harus kita
terima. Penyakit HIV-AIDS berkembang hingga ke daerah terpencil.
Serangan hepatitis, demam berdarah, flu burung, diare terjadi di
mana-mana. Bermacam penyakit aneh bermunculan. Banyak anak-anak tidak sekolah
atau putus sekolah karena orangtua tidak mempunyai uang. Lalu, mereka
berbondong-bondong ke kota dan atau menjadi TKI tanpa keahlian di luar negeri.
Padahal, buta huruf merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan.
Data
menunjukkan bahwa hampir separuh penduduk Indonesia hidup dengan
pendapatan di bawah dua dollar AS per hari. Bagaimana orang bisa hidup dengan
uang Rp 18.000 sehari ditengah harga pangan melonjak tak terkendali? Lihat saja
pemandangan sehari-hari di sekeliling kita: antrean panjang di mana-mana untuk
mendapatkan beras murah (raskin), minyak tanah, minyak goreng, gas, bagi rakyat
miskin harus diperoleh dengan antrean berjam-jam. Sementara segelintir orang di
negeri ini hidup dalam kemewahan. Sebagian lagi hidup mapan dari uang hasil
korupsi.
Korupsi,
kolusi, dan nepotisme merasuki semua lembaga negara dan birokrasi. Birokrasi,
termasuk BUMN/BUMD, sarat KKN sehingga tidak efisien. Reformasi birokrasi
berjalan lambat. Penegakan hukum lemah dan tebang pilih: ‘tajam ke bawah,
tumpul ke atas’. Regulasi dan kebijakan banyak yang pro-kapitalis dan neolib,
sehingga perekonomian nasional didominasi asing dengan perusahaan-perusahaan
multinasional yang dijuluki agen-agen globalisasi.
Di
sisi lain, rakyat kecil yang mayoritas menghuni wilayah NKRI tidak terurus
dengan baik, disuruh survive tanpa dukungan yang memadai.
Badan usaha koperasi yang diperintahkan Konstitusi hanya sekadar wacana.
Akibatnya, mereka terjerembab ke lembah kemiskinan dan kebodohan.
Semuanya
itu menjadi indikator bahwa pemerintah (negara) tak lagi mampu menyediakan
barang kebutuhan pokok yang cukup untuk rakyatnya. Padahal, NKRI menganut paham
Negara Kesejahteraan (Welfare State) sebagaimana dasar
negara Pancasila dan Konstitusi UUD 1945 dengan jelas dan tegas mengamanatkan:
“Rakyat miskin dan anak-anak terlantar dilindungi oleh negara”; “Setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan dan pekerjaan yang layak.” Pembukaan UUD 1945 juga menegaskan
salah satu Tujuan NKRI: Memajukan Kesejahteraan Umum.
Menurut
Alinea IV Pembukaan UUD 1945, NKRI menganut paham negara kesejahteraan. Dari
sudut padang negara kesejahteraan, equality-pemerataan
pembangunan merupakan hal hakiki dan penting. Namun, pemerataan saja belum
cukup karena harus menuju ke arah equitability yang memuat
unsur keadilan sosial. Oleh karena itu, modal asing, modal non-pribumi,
pribumi, dan sebagainya, dapat digunakan dalam kerangka keadilan sosial. Perintah
Konstitusi itu, baik dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh, merupakan turunan
dari amanat dasar negara dan falsafah Bangsa: Kemanusiaan Yang Adil dan
Beradab (Sila kedua) dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia (Sila kelima).
Kondisi
bangsa ini semakin terpuruk ketika badai globalisasi melanda dan menyapu negeri
ini. Kapitalisme global dan neoliberalisme ‘memaksa’ modal asing masuk dan
menguasai hampir seluruh sektor strategis negara, mulai dari pertambangan
(minyak gas, mineral, dan lain-lain), telekomunikasi, perbankan, asuransi,
perkebunan, pasar modal, hingga pendidikan (lembaga pendidikan), kesehatan
(rumah sakit), perusahaan pers (cetak dan elektronik). Yang lebih miris lagi
bagaimana barang-barang yang kita makan dan kita pakai sehari-hari banyak
barang impor. Mulai dari mobil, barang-barang elektronik, pakaian, permainan
anak-anak, beras, gula, kentang, buah-buahan, daging sapi, hingga garam.
Ditengah situasi demikian, peranan Negara sering tidak hadir di tengah rakyat.
Dalam banyak kasus, para pemimpin gagal memberikan ke mana seharusnya negara
bangsa ini bergerak. Indonesia adalah negara besar, namun masih terjajah asing
hingga hari ini. Kedaulatan negara bangsa Indonesia nyaris tergerus di hampir
semua sektor kehidupan.
Jika
dilacak lebih dalam, kerapuhan perekonomian nasional mengarah pada persoalan
yang sangat mendasar yakni sistem ekonomi kita keluar dari rel yang digariskan
dalam ideologi dan konstitusi. Ekonomi bangsa ini melenceng dari jati dirinya,
yakni Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila yang mewujud dalam Ekonomi
Kerakyatan berbasis sumber daya alam (agraris dan maritim) merupakan roh,
spirit, visi, inspirasi, misi, dan cita-cita pembangunan sosial ekonomi NKRI.
Bukan kapitalisme, bukan ekonomi konglomerasi, bukan pula neoliberalisme.
Ekonomi
Kerakyatan berorientasi pada nilai-nilai fundamental ideologi dan dasar negara
Pancasila (Ekonomi Pancasila) seperti keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan.
Kerangka bangunan Ekonomi Kerakyatan ialah Pasal 33 UUD 1945 (Ayat 1, 2, dan 3)
sebagai pilar, patokan dasar, dan arah politik sumber daya alam, peran negara
di bidang ekonomi, dan kesejahteraan rakyat.
Untuk
melaksanakan tugas konstitusional tersebut, kewenangan dan tanggungjawab negara
sangat besar dan menentukan komponen-komponen sosial-ekonomi dasar seperti
standardisasi harga-harga, upah minimum, jasa layanan sosial (pendidikan,
kesehatan masyarakat, jaminan sosial), mencegah praktek monopoli, jaminan
pelestarian lingkungan, partisipasi ekonomi rakyat, perlindungan nilai-nilai
lokal, pengakuan dan penghargaan etika fundamental, dan lain-lain.
Welfare
state dalam
Pancasila yang dijabarkan dalam UUD 1945 lahir dari pergulatan sejarah bangsa
di bawah kolonialisme-imperialisme, kesadaran akan sumber daya alam yang
melimpah, kondisi riil sosial ekonomi mayoritas rakyat Indonesia yang miskin
dan hidup di desa-desa, serta budaya masyarakat Nusantara yang agraris,
maritim, dan gotong-royong. Dengan demikian, pengabaian terhadap nilai-nilai
moral Pancasila dan tiga patokan dasar UUD 1945 berarti pengingkaran terhadap
jati diri ekonomi NKRI. Tanpa jati diri yang kuat, pondasi bangunan
ekonomi Indonesia sangat rapuh sehingga mudah terhempas oleh badai globalisasi
yang digerakkan oleh kapitalisme global.
Kita
memang tidak bisa mengindari liberalisasi ekonomi dunia. Kita tidak bisa
mengasingkan diri dari pengaruh ekonomi global. Kita juga tak mungkin
mengingkari fakta bahwa ekonomi kerakyatan sudah masuk dalam jaringan ekonomi
global. Yang harus dan bisa kita hindari ialah ketergantungan pada ekonomi
global: investasi asing, produk asing, teknologi dan tenaga asing, serta utang
luar negeri.
Satu-satunya
cara ialah mengembalikan kedaulatan dan kemandirian ekonomi dengan menegakkan
jatidiri ekonomi nasional. Dan, itu sangat bisa kita lalukan karena modal
kita luar biasa: kaya sumber daya tambang, lautan dan hutan yang luas, jumlah
penduduk besar, dan demokrasi yang terus bertumbuh. Kesemuanya itu merupakan
potensi atau modal-modal besar yang harus diaktualisasikan melalui nasionalisme
ekonomi yang dilandasi spirit patriotisme.
Wujud
nasionalisme ekonomi Indonesia pertama-tama ialah meletakkan ekonomi Pancasila
dan Ekonomi kerakyatan di garda terdepan dalam membangun ekonomi domestik, sekaligus
mengatasi berbagai dampak dari globalisasi ekonomi dunia. Dalam Ekonomi
Kerakyatan, rakyat seperti petani, peternak, nelayan, petambak, pengrajin,
buruh, tukang, usaha mikro, kecil, dan menengah menjadi subyek sentral dan aset
utama pembangunan yang harus diberdayakan dan disejahterakan. Mereka semua
merupakan pelaku ekonomi kerakyatan.
Nasionalisme
ekonomi menuntut keberpihakan para pembuat regulasi dan pengambil kebijakan
untuk memberdayakan para pelaku ekonomi kerakyatan ini. Nasionalisme ekonomi
harus mampu menguasai, mengolah, dan merawat seluruh kekayaan alam untuk
menghadirkan kembali kedigdayaan Indonesia di era kerajaan abad ke-7 hingga
ke-14 sebagai negara agraris dan maritim yang membanggakan dan menyejahterakan
secara berkelanjutan.
Comments
Post a Comment